Liputan6.com, Rakhine - Pemerintah Myanmar membatalkan misi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk berkunjung ke Negara Bagian Rakhine. Agenda kunjungan itu terkait dengan krisis Rohingya yang menyebabkan eksodus warga ke Bangladesh.
Jika tidak dibatalkan, ini adalah kali pertama misi PBB berkunjung ke kawasan yang bergejolak semenjak 25 Agustus 2017 lalu.
Saat itu, personel bantuan PBB dipaksa meningalkan Rakhine. Kala itu, personel militer mulai melakukan tindakan keras terhadap militan Rohingya.
Advertisement
Melansir BBC pada Kamis (28/9/2017), juru bicara PBB mengatakan mereka tak mendapatkan penjelasan mengapa pemerintah Myanmar membatalkan rencana itu.
PBB sendiri telah memaksa pemerintah Myanmar untuk membuka akses ke Rakhine. Mereka ingin menginvestigasi di balik eksodus lebih dari 400 ribu warga Rohingya.
Sejumlah laporan mengatakan, ada tindakan kekerasan menimpa etnis Rohingya sehingga membuat mereka mengungsi mencari tempat aman.
"Sebelum dibatalkan, kepala agensi PBB ingin ikut dalam misi. Dia berharap, kedatangannya dapat tim dari PBB mendapat akses lebih luas," kata juru bicara PBB Stephane Dujarric.
Pasca-pembatalan sepihak, Dewan Keamanan PBB akan menggelar pertemuan terkait hal itu di New York.
Dunia Kecam Aung San Suu Kyi
Meskipun akhirnya Aung San Suu Kyi berbicara mengenai krisis yang terjadi di negara bagian Rakhine, namun pidatonya dianggap anti-klimaks.
Suu Kyi juga mengatakan, seluruh pengungsi dapat kembali ke Myanmar setelah melalui proses verifikasi. Namun, dalam pidatonya, ia sama sekali tak menyebut soal peran militer dalam krisis kemanusiaan.
Pemimpin de facto Myanmar itu juga tak membahas soal pembersihan etnis, persoalan yang jadi sorotan dunia -- bahkan, ia tak secara gamblang menyebut Rohingya dalam pidatonya.
Banyak pihak, yang telah menanti momen buka suara Suu Kyi itu, dibuat kecewa. Kekecewaan itu juga dialami oleh sejumlah pemimpin dan diplomat dari sejumlah negara.
Dalam sebuah pembicaraan melalui telepon dengan Aung San Suu Kyi, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menyambut baik pernyataan bahwa pengungsi dapat kembali ke Myanmar setelah diverifikasi. Namun, Tillerson mendesak Suu Kyi untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan dan menangani tuduhan pelanggaran HAM dan kekerasan.
Sementara itu kepada Majelis Umum PBB, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan bahwa operasi militer di Myanmar harus dihentikan. Ia juga menyerukan adanya penjaminan akses kemanusiaan dan memulihkan perturan hukum untuk menghadapi persoalan, yang disebut masyarakat luas sebagai pembersihan etnis.