Sukses

Pasca-Penembakan Las Vegas, Donald Trump Minta Rakyat AS Bersatu

Penembakan massal di Las Vegas adalah insiden paling berdarah dalam sejarah Amerika Serikat.

Liputan6.com, Las Vegas - Penembakan massal di Las Vegas adalah insiden paling berdarah dalam sejarah Amerika Serikat. Sebanyak 58 orang tewas, lebih dari 500 lainnya luka-luka setelah pelaku, Stephen Paddock memuntahkan peluru dari lantai 32 Mandalay Bay Hotel ke arah lokasi festival musik yang dihadiri 22 ribu orang.

Menanggapi tragedi tersebut, Presiden Donald Trump meminta warga AS bersatu.

"Persatuan kita tak dapat dihancurkan oleh kejahatan, ikatan yang mempersatukan bangsa ini tak bisa dipatahkan oleh kekerasan. Meski kita murka atas pembunuhan yang terjadi pada sesama warga, namun cinta yang menyatukan kita bersama, selalu dan selamanya," kata Trump dari Ruang Diplomatik Gedung Putih, seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (3/10/2017).

Menghindari gesekan politik, misalnya dengan tak menyinggung isu pembatasan kepemilikan senjata, Trump mengatakan, ia akan mengunjungi Las Vegas pada Rabu mendatang.

"Saya memahami, pada momentum seperti ini, kita mencari semacam makna di tengah kekacauan, secercah cahaya dalam kegelapan, jawabannya tidak mudah. Namun, kita bisa mendapat penghiburan dengan meyakini bahwa di ruang tergelap sekalipun bisa dicerahkan oleh seberkas cahaya. Bahkan keputusasaan yang paling mengerikan pun bisa diterangi oleh secercah harapan," kata dia.

Sebelumnya, dalam akun Twitternya, Trump mengucapkan duka cita dan simpati untuk para korban dan keluarganya.

Sementara, Senator Chris Murphy dari Connecticut, seorang pendukung reformasi pembatasan senjata api, menyerukan para koleganya untuk bertindak.

"Ini saatnya Kongres untuk bangkit dan melakukan sesuatu," kata dia.

Politikus Demokrat tersebut berasal dari negara bagian di mana 20 anak-anak dan enam orang dewasa tewas dalam insiden penembakan massal Sandy Hook pada 2012 menyebut, situasi sudah genting.

"Tak ada di mana pun di muka Bumi, kecuali di AS, penembakan massal mengerikan dalam skala besar terjadi sesering ini," kata dia. "Ini harus dihentikan. Sangat disayangkan rekan-rekan saya di Kongres begitu takutnya dengan industri senjata sehingga mereka berpura-pura tidak ada efek kebijakan publik terhadap epidemi ini."

 

2 dari 2 halaman

Hillary Clinton Bersuara

Sejumlah politikus Demokrat menyuarakan hal senada. Dalam sebuah surat kepada Paul Ryan, seorang politisi Republik paling senior di Kongres, Nancy Pelosi mendesak pembentukan komite untuk membahas kekerasan bersenjata.

Ia meminta sang ketua parleman mengizinkan pemungutan suara untuk memperkuat sistem pemeriksaan latar belakang pembeli senjata.

"Kongres memiliki kewajiban moral untuk mengatasi epidemi yang mengerikan dan memilukan ini," tulisnya. "Hari ini adalah hari untuk berdoa, berkabung, dan memberikan cinta, tapi seharusnya juga menjadi momentum untuk beraksi."

Sebelumnya, Paul Ryan memerintahkan bendera di atas Amerika States Capitol diturunkan menjadi setengah tiang untuk menghormati korban tragedi Las Vegas.

Sejumlah insiden penembakan massal terjadi pasca-pelantikan Trump pada bulan Januari  2017. Bulan lalu, seorang pria bersenjata di Texas membunuh delapan orang di sebuah pesta yang digelar di sebuah rumah.

Penembakan di Las Vegas terjadi beberapa hari sebelum House of Representatives mempertimbangkan undang-undang yang secara parsial akan menderegulasi penstabil kebisingan untuk senjata api.

Ketentuan tersebut merupakan bagian dari Share Act, sebuah aturan yang juga akan menghapus pembatasan berburu dan menembak di atas tanah federal.

Beberapa pendukung pengendalian penggunaan senjata menggunakan insiden penembakan di Las Vegas untuk menyuarakan perlawanan. Salah satunya Hillary Clinton, calon presiden dari kubu Demokrat pada Pilpres 2016.

"Banyak orang melarikan diri setelah suara tembakan terdengar. Bayangkan apa yang terjadi jika si penembak memiliki peredam suara," kata dia.