Sukses

Foto Aung San Suu Kyi Dicopot dari Oxford University

Dewan Kota Oxford juga mempertimbangkan penghentian ajang penghargaan terinspirasi Suu Kyi. Keduanya terjadi di tengah krisis Rohingya.

Liputan6.com, Oxford - Foto Aung San Suu Kyi yang terpajang di Oxford University, Inggris, dicopot. Pencopotan potret sang pemimpin de facto Myanmar dari almamaternya itu terjadi di tengah tensi tinggi krisis kemanusiaan Rohingya.

Pencopotan foto Suu Kyi diberitakan pertama kali oleh surat kabar kampus, The Swan, pada pekan lalu. Demikian seperti dikutip dari Asian Correspondent, Selasa (3/10/2017).

Menurut The Swan, foto putri Jenderal Aung San yang terpajang di pintu masuk St. Hugh College Oxford University itu dicopot dan dipindahkan ke "lokasi yang aman". Pencopotan itu juga bertepatan dengan awal semester perkuliahan kampus.

Sebagai gantinya, lukisan seniman Jepang, Yoshihiro Takada, dipasang untuk mengisi kekosongan sudut dinding bekas terpajangnya foto Suu Kyi.

Aung San Suu Kyi berkuliah di Oxford pada 1960-an. Menurut sang pemenang Nobel, berkuliah di sana membantunya untuk "mampu memahami seluk beluk masyarakat Burma".

Sementara itu, pada kesempatan berbeda, Dewan Kota Oxford tengah mempertimbangkan apakah akan tetap melanjutkan atau justru membatalkan pengadaan Suu Kyi's Freedom of the City, penghargaan tertinggi yang diberikan oleh dewan kota kepada masyarakat yang dianggap telah memberikan kontribusi positif bagi komunitas.

"Pertimbangannya karena masyarakat tengah terkejut dengan situasi yang terjadi di Myanmar dan berbagai bentuk kekerasan terhadap para warga Rohingya," ujar penasihat Kota Oxford, Tom Hayes.

"(Suu Kyi) telah menjadi simbol perlawanan terhadap kekerasan, kediktatoran, serta opresi militer terhadap warga sipil. Sementara Rohingya tengah menderita, Suu Kyi justru tidak berkata apa-apa tentang hal itu. Sikap tersebut tidak konsisten dengan nafas semangat penghargaan Freedom of the City," ujar Hayes.

Beberapa waktu terakhir, komunitas internasional intens mengkritik Suu Kyi. Mereka menganggap sang pemimpin de facto Myanmar itu gagal mencegah dan menghentikan rangkaian aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine sejak 25 Agustus lalu.

Akibatnya, hampir setengah juta etnis Rohingya dan warga sipil lain melarikan diri dari Rakhine guna menghindari rangkaian aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat keamanan negara maupun kelompok militan bersenjata.

Sebagian besar mengungsi di Bangladesh, di mana berbagai bantuan kemanusiaan dari penjuru dunia telah berdatangan dan telah disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.

Meski begitu, komunitas internasional terus mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan aksi nyata guna menghentikan rangkaian aksi kekerasan di Rakhine. Tujuannya adalah agar warga sipil yang melarikan diri dapat kembali ke rumah mereka masing-masing secara sukarela dan aman.

"Kami menuntut Myanmar untuk segera menghentikan operasi militer serta mampu menjamin pemulangan warga sipil yang mengungsi 'secara berkelanjutan, aman, sukarela, dan bermartabat'," jelas Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.

Saksikan video pilihan berikut ini: