Sukses

Dijajah hingga Kekayaan Alam, Ini Alasan Catalonia Ingin Merdeka?

Menilik beberapa alasan Catalonia yang menuntut merdeka, mulai dari segi historis, geo-politik, hingga ekonomi.

Liputan6.com, Catalonia - Ketika warga Catalonia pergi ke tempat pemungutan suara referendum pada Minggu 1 Oktober lalu, mereka hanya menemukan satu pertanyaan dalam surat suara.

"Apakah Anda mau Catalonia menjadi negara merdeka berbentuk republik?"

Namun, di balik kesederhanaan dari kalimat tanya yang tersusun dari beberapa kata itu, ada setangkup latar belakang yang menjadi preteks mengenai peristiwa teranyar yang tengah hangat di Eropa saat ini. Demikian seperti dikutip dari The Washington Post, Selasa (3/10/2017).

Yaitu, referendum kemerdekaan Catalonia.

Pada Senin kemarin, Presiden Regional Catalonia, Carles Puigdemont mengatakan, wilayahya yang berada di Spanyol itu telah memenangkan hak merdeka untuk menjadi negara, setelah referendum yang dinodai sejumlah aksi kekerasan.

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi Spanyol mengumumkan, referendum itu ilegal. Ratusan orang dilaporkan terluka saat polisi turun tangan memblokir upaya pemungutan suara.

Sebelumnya, saat pemungutan suara berakhir, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy mengatakan bahwa warga Catalan telah tertipu untuk ikut ambil bagian dalam pemungutan suara ilegal. Dia menyebut itu sebagai contoh buruk demokrasi.

Sejumlah besar pendukung kemerdekaan Catalonia berkumpul di pusat ibu kota regional Barcelona pada Minggu 1 Oktober malam waktu setempat. Mereka melambai-lambaikan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Catalan.

Sedangkan para demonstran anti-kemerdekaan mengadakan demonstrasi di Barcelona dan kota-kota Spanyol lainnya.

Namun pertanyaannya, mengapa Catalonia ingin merdeka?

 

2 dari 2 halaman

Mengapa Catalonia Ingin Merdeka?

Bagi kelompok pro-kemerdekaan, memisahkan diri dari Spanyol telah menjadi proyek selama tiga abad, tepatnya dimulai pada 1714, ketika Raja Philip V dari Spanyol menganeksasi Catalonia dalam Spanish Succession --peristiwa yang memicu berdirinya Spanyol modern.

Sejak itu, para nasionalis Catalonia konsisten menuntut otonomi khusus. Mereka berdalih bahwa budaya Catalan (demonim Catalonia) memiliki perbedaan yang signifikan dengan kultur Castilla yang mendominasi Spanyol.

Selain itu, Catalan juga berpendapat, sedari awal mereka tidak pernah ingin menjadi bagian dari Kerajaan Spanyol, mengingat Raja Philip V menganeksasi wilayah itu secara paksa melalui peperangan.

Pada 1932, pemerintah Spanyol menyetujui otonomi khusus kawasan di timur laut Negeri Matador itu. Akhirnya, pemimpin regional setempat mendeklarasikan Republik Catalan.

Namun, ketika Generalisimo Francisco Franco menjadi penguasa pada 1939, otonomi khusus itu dihapuskan. Franco juga secara sistematis menekan tumbuhnya segala bentuk nasionalisme Catalonia.

Di bawah kediktatoran Franco, pemerintah mencoba untuk membasmi semua budaya, individu, dan institusi yang mengasosiasikan diri dengan nasionalisme Catalan. Bahkan, tidak ada satupun keluarga Catalan yang tak luput dari persekusi hingga eksekusi sepanjang periode tersebut.

Ketika sang generalisimo meninggal pada 1975 --yang juga menandai akhir dari periode ultranasionalisme di Spanyol-- wacana untuk memerdekakan diri kembali bergaung di Catalonia.

"Banyak warga Catalan yang tumbuh dewasa mempercayai bahwa diri mereka bukanlah 'orang Spanyol'," jelas sebuah artikel yang ditulis oleh Times.

Puncaknya pada 2006, ketika Madrid mengesahkan statuta otonomi Catalonia yang memberikan kendali mandiri pada keuangan serta pajak pada wilayah tersebut. Statuta tersebut, menurut The Washington Post, menjadikan wilayah dengan Ibu Kota Barcelona itu seakan seperti 'negara'.

Namun pada 2010, Mahkamah Konstitusi Spanyol membatalkan statuta tersebut dengan menyebut, Catalonia bukan kebangsaan dan juga negara. Keputusan itu diprotes oleh jutaan warga Catalan.

Meski begitu, Catalonia tetap memiliki kontrol finansial besar pada wilayahnya jika dibandingkan dengan region lain di Spanyol.

Ada beberapa hal yang mungkin membuat Madrid begitu memberikan otonomi besar kepada Catalonia, yang sekaligus menjadi alasan mengapa Spanyol tak ingin kawasan tersebut memerdekakan diri.

Catalonia adalah wilayah terkaya di Spanyol. Sebagai region industri, wilayah itu menampung banyak industri logam, makanan, farmasi, dan kimia untuk memasok kebutuhan di Spanyol.

Tak hanya itu wilayah yang membentuk 16 persen populasi dan menyumbang 20 persen PDB Spanyol tersebut, turut memiliki sektor pariwisata yang populer di Barcelona.

Sedangkan pada tataran geo-politik, kemerdekaan itu dianggap mampu menyulut gerakan serupa pada region di negara lain yang memiliki otonomi khusus seperti Catalonia, seperti beberapa di antaranya, Bavaria di Jerman dan Skotlandia di Inggris.

Sementara itu, warga Catalonia yang pro-kemerdekaan berpendapat bahwa mereka berkontribusi besar menyumbang pajak bagi Spanyol. Pada 2014, wilayah tersebut menyumbang sekitar US$ 11, 8 miliar kepada otoritas pajak. Sedangkan alokasi pajak yang digelontorkan untuk pembangunan Catalonia, tidak sebesar sumbangsih tersebut.

Dan hal itu menjadi salah satu alasan mengapa Catalonia ingin memisahkan diri dari Spanyol.

Akan tetapi, mereka yang menolak kemerdekaan Catalonia berpendapat, memisahkan diri dari Spanyol justru akan mengakibatkan resesi ekonomi secara krusial.

Karena, hampir tidak mungkin bagi Catalonia yang baru merdeka untuk bergabung dengan Uni Eropa dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang akan menaikkan biaya ekspor dan impor di kawasan tersebut.

Dampak lain yang muncul adalah berkurangnya lapangan pekerjaan di Catalonia.

Mereka juga khawatir, bahwa Catalonia bisa berubah menjadi kawasan anti-imigran dan bertendensi rasisme akibat semakin berkembangnya nasionalisme yang berlebih di kawasan tersebut.

Sementara itu seperti dikutip dari Quartz, beberapa analis berpendapat bahwa kemerdekaan Catalonia jauh dari niscaya.

"Haruskah kita khawatir dengan referendum dan konsekuensinya? Terlepas dari semua berita utama dalam beberapa pekan terakhir dan yang akan datang, kami percaya bahwa kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat mendekati nol," jelas analis dari firma keuangan Inggris Barclays

"Suara pro-kemerdekaan tidak memerintahkan mayoritas. Jajak pendapat menyebut, mereka hanya menyusun total 40 suara nasional. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi mengumumkan bahwa referendum tersebut ilegal dan juga kemungkinan besar menyatakan hal serupa untuk berbagai pernyataan deklarasi kemerdekaan sepihak yang akan muncul," tambah Barclays.