Liputan6.com, Singapura - Masjid Khadijah, yang terletak di 583 Geylang Road Singapura, tak hanya menjadi rumah ibadah, tapi juga simbol melawan terorisme.
Saat ini Geylang dikenal sebagai kawasan "lampu merah" di Singapura, dengan sejumlah lorong yang menerbitkan curiga sekaligus rasa penasaran. Tak banyak yang tahu, di tengah ingar-bingar hiburan malam di sana, berdiri beberapa rumah ibadah. Salah satunya adalah Masjid Khadijah.
Rumah ibadah tersebut beralamat di di 583 Geylang Road. Usianya hampir 100 tahun. Otomatis, masjid ini menjadi salah satu masjid tertua di Negeri Singa.
Advertisement
Ada kisah menarik di balik rumah ibadah itu. Masjid tersebut dibangun dengan donasi sebesar 50.000 dolar Singapura yang diberikan oleh Khadijah Binti Mohamed pada 1915.
Baca Juga
Empat tahun setelah perempuan mulia itu meninggal dunia, pembangunan diselesaikan pada 1920, termasuk dua rumah toko (shophouse) di depannya.
"Masjid ini sangat unik karena berada di tengah lingkungan nonmuslim," kata relawan sekaligus pemuka agama di Masjid Khadijah, Salim Mohamed Nasir, saat menyambut peserta Indonesia Journalists Visit Programme (IJVP), Selasa, 3 Oktober 2017.
Hubungan baik dan toleransi, menurut Salim Nasir, juga terjalin antara pihak masjid dan para tetangganya. "Selama iftar (buka puasa bersama kami mengundang mereka datang,"Â ujar Assosiate Research Fellow dari S. Rajaratnam School of International Studies itu.
Lampu kristal besar yang terpasang di dalam masjid juga menjadi bukti toleransi atau multikulturalisme yang terjalin di sana. "Lampu tersebut adalah pemberian seorang perempuan nonmuslim," kata dia.
Pada 2002, seorang perempuan dari etnis Tionghoa, yang melintas di depan masjid yang sedang direnovasi, memberikan lampu tersebut. Tak hanya itu, karpet tebal dan empuk yang tergelar di sana juga adalah pemberian dari seorang pria nonmuslim.
Tak hanya menggelar ibadah salat berjemaah atau kegiatan sosial dan kemanusiaan, Masjid Khadijah juga mengambil posisi dan ikut aktif melawan hal yang dianggap ancaman bagi Singapura maupun dunia: terorisme.
Setelah terbongkarnya plot serangan teror di sejumlah perwakilan diplomatik di Singapura pada 2001, para pemuka agama di Masjid Khadijah segera menyatakan dukungan atas upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah.
Kala itu, Jemaah Islamiyah (JI) berniat meledakkan bom di lokasi perwakilan diplomatik Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Israel yang ada di Singapura. Plot itu terbongkar pada Desember 2001. Dalam satu bulan, sebanyak 15 orang ditangkap.
"Masjid Khadijah saat itu menyatakan menentang aksi terorisme, sejak tahun 2001 kami mulai membuka kelas-kelas kecil untuk memberikan pemahaman yang benar terkait ajaran Islam," kata Salim Nasir.
Dua tahun kemudian, pada 2003, di lingkungan Masjid Khadijah didirikan Religious Rehabilitation Group (RRG) untuk melawan ideologi ekstremis dan radikal, yang khususnya mengatasnamakan dan "membajak" ajaran Islam.
Â
Islam Bukan Agama Teroris
Ada tiga pendekatan yang dilakukan para konselor RRG, yakni meluruskan interpretasi yang salah dalam ideologi ekstremis, menegakkan pemahaman dan nilai-nilai sejati dalam Islam. Juga, memajukan integrasi dan harmoni dalam masyarakat yang multirasial dan multi-agama.
Salim Mohamed Nasir menambahkan, RRG juga mengkampanyekan Islam yang damai. "Muslim menyapa dengan ucapan assalamualaikum, yang berarti damai," kata Salim Nasir.
Mewujudkan damai juga menjadi ajaran Alquran. Kitab suci agama Islam tersebut menyerukan perdamaian, tak hanya di kalangan muslim tapi juga antar-umat, seperti yang tertera dalam Surat Al-Hujurat ayat 13.
Salim menambahkan, RRG memiliki fasilitas pelatihan dan workshop, juga fasilitas konseling bagi mereka yang terpengaruh ideologi teroris dan ekstremis. Pendampingan juga diberikan kepada mereka yang berniat lepas dari jerat kelompok radikal, juga untuk keluarganya.
"Kebanyakan dari Jemaah Islamiyah ingin mendapatkan pencerahan baru dalam hal spiritual. Kami memberikan dukungan agar mereka bisa kembali ke masyarakat," kata dia.
Untuk melebarkan jangkauan, RRG juga memiliki aplikasi telepon seluler yang memungkinkan orang-orang bertanya tentang apa pun terkait ajaran Islam. "Kami akan meneruskan pertanyaan tersebut pada pemuka agama untuk segera mendapatkan jawaban," kata Salim Nasir.
Di sisi lain, salah satu tantangan yang dihadapi RRG adalah penyebaran ajaran ekstremis lewat internet, yang gencar mengajak kaum muda jadi militan di Suriah atau menjadi lonewolf atau teroris yang bekerja sendiri. "Bahkan televisi di Singapura adalah smart TV," kata dia.
Tak hanya merangkul kaum muslim, RRG menyambut kedatangan sejumlah tamu nonmuslim, para pelajar negeri Singapura, tamu asing, juga mereka yang penasaran dengan ajaran Islam.
Salim Nasir menegaskan, meski sejumlah pelaku teror memeluk Islam, "Tapi, bukan berarti Islam adalah agama teroris," kata dia.
Terorisme, dia menambahkan, bahkan bisa dilacak hingga era sebelum Masehi. Pelakunya pun muncul dari berbagai kalangan.
"Sejumlah pemberitaan media yang bias membuat terorisme lekat dengan Islam," kata dia.
Saat ini, ada sekitar 45 anggota RRG, yang semua adalah ulama atau guru agama yang sudah terakreditasi. Lantas, dari mana pembiayaan RRG? "Kami sama sekali tak mendapatkan dana dari negara, kami adalah organisasi independen yang bekerja untuk rakyat, demi keharmonisan Singapura," kata Salim Nasir.
Salim Nasir mengatakan, pihaknya mengandalkan donasi untuk menjalankan operasionalnya. Sementara, dari negara mereka mendapatkan dukungan nondana. Jika terjadi kasus radikalisme, maka itu bukanlah persoalan muslim Melayu saja, melainkan masalah bersama.
"Dan, jika terjadi Islamfobia, pemerintah akan turun tangan membantu," kata dia.
Kinerja RRG diakui Wakil Perdana Menteri Singapura, Teo Chee Hean. Teo mengatakan, RRG adalah kelompok sukarelawan yang terdiri atas ulama dan asatizah atau guru agama yang membantu deradikalisasi dan merehabilitasi individu melalui konseling dan melakukan pendampingan pada keluarga mereka.
"Untuk melengkapi pekerjaan RRG, Islamic Religious Council of Singapore atau MUIS, telah membentuk jaringan untuk melatih guru agama dan kelompok pemuda dalam hal konseling dan kontra-radikalisasi," kata pria yang juga menjadi Menteri Koordinator Keamanan Nasional itu.
Dia menambahkan, Asatizah juga akan meningkatkan kehadiran mereka di media sosial mereka untuk menawarkan bimbingan kepada para pemuda.
"Inisiatif ini penting untuk meyakinkan anggota komunitas lain bahwa warga muslim telah mengambil langkah tegas, dan melakukan semua yang bisa dilakukan untuk melawan ekstremisme untuk memastikan Singapura tetap aman dan aman," kata Wakil PM Singapura.
"Dan bahwa kita semua berada pada sisi yang sama melawan eksklusivisme dan ekstremisme."
Advertisement