Liputan6.com, Stockholm - Dalam tahun di mana ancaman nuklir kian menggelisahkan, Nobel Perdamaian diberikan kepada sebuah kelompok advokasi yang mengusahakan terbentuknya perjanjian pelarangan nuklir.
"Organisasi tersebut menerima penghargaan atas upayanya untuk menarik perhatian terhadap konsekuensi penggunaan senjata nuklir terhadap manusia, dan atas upaya terobosannya untuk mencapai perjanjian berbasis larangan senjata semacam itu," ujar Norwegian Nobel Committe dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari New York Times, Jumat (6/10/2017).
Advertisement
Baca Juga
Kelompok koalisi aktivis pelucutan senjata itu, International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), diganjar penghargaan bergengsi tersebut atas upayanya dalam mengajukan Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW).
Perjanjian pelucutan senjata nuklir tersebut akhirnya diadopsi oleh 122 negara anggota PBB pada Juli 2017. Namun, sembilan negara di dunia yang memiliki kekuatan nuklir, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, tak menandatangani perjanjian itu.
Dilansir BBC, dalam pengumuman peraih Nobel Perdamaian, masalah nuklir Korea Utara turut disinggung.
"Sejumlah negara sedang memodernisasi persenjataan nuklir mereka, dan ada bahaya nyata bahwa lebih banyak negara yang mencoba memproduksi senjata nuklir, seperti yang dicontohkan Korea Utara."
Pada tahun ini, Korea Utara telah meluncurkan serangkaian roket dan uji coba nuklir. Aksi tersebut membuat perang retorika dengan Presiden AS Donald Trump meruncing.
Trump yang merupakan pemimpin negara dengan salah satu gudang persenjataan nuklir terbesar di dunia, mengancam akan meluluhlantakkan Korea Utara jika pihaknya dalam posisi 'terpaksa membela' sekutu-sekutunya.
Aksi nekat peluncuran rudal oleh Korut itu dua kali membuat Jepang mengeluarkan peringatan J-Alert kepada warganya. Pasalnya, rudal Korut dua kali melintas daratan Negeri Matahari Terbit sebelum akhirnya jatuh di Samudra Pasifik.
Pada tahun lalu, Nobel Perdamaian diberikan kepada Presiden Kolombia Juan Manuel Santos. Penghargaan itu didapatnya setelah pemerintahannya berupaya bernegosiasi dengan kelompok pemberontak FARC untuk mengakhiri konflik berkepanjangan.