Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu terakhir, sejumlah publik Indonesia dibuat geger oleh kiprah salah satu putra bangsa yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri.
Ia adalah Dwi Hartanto, mahasiswa program doktoral Technise Universiteit Delft, Belanda.
Geger pertama adalah fakta atas statusnya sebagai mahasiswa di universitas yang cukup mentereng di Negeri Hollandia. Sebuah kebanggan memang, mengingat kini sangat banyak putra-putri Tanah Air yang berkeinginan mendulang ilmu di kampus top dunia.
Advertisement
Baca Juga
Tak sekadar berkuliah di Belanda, Dwi juga mengaku telah meraih berbagai prestasi ini dan tengah mengerjakan proyek penting itu. Dan jika membaca klaim atas segudang prestasi dan proyek yang ia kerjakan, cukup dapat membuat mata seseorang terbelalak.
Namun, rasa bangga terhadap Dwi harus runtuh setelah semua yang ia klaim sebelumnya hanya isapan jempol semata.
Melalui sebuah surat klarifikasi dan permohonan maaf, Dwi mengakui semua sesumbar dan kabar miring yang sebagian besar dibuatnya sendiri. Dari berbagai pengakuan, berikut 5 klaim palsu Dwi Hartanto, seperti yang Liputan6.com rangkum dari surat si mahasiswa, Minggu (8/10/2017).
Â
1. Mengaku sebagai Post-Doctoral hingga Asisten Profesor
Pada 2015, kepada salah satu media di Indonesia, Dwi Hartanto mengaku sebagai kandidat doktor di bidang space technology & rocket development.
Namun, dalam surat klarifikasi dan permohonan maafnya, Dwi menjelaskan bahwa ia sebenarnya, "adalah kandidat doktor di bidang Interactive Intelligence (Departemen Intelligent Systems)."
Selain itu, dalam wawancara dengan salah satu televisi nasional, pria asal Yogyakarta itu mengaku bekerja di TU Delft sebagai post-doctoral dan asisten profesor.
Akan tetapi sesungguhnya, "Tidak benar bahwa saya sedang melakukan Post-doctoral maupun sebagai Assistant Profesor TU Delft. Yang benar adalah saat wawancara terjadi hingga saat ini saya merupakan mahasiswa doktoral."
Â
Advertisement
2. Mengembangkan Teknologi Roket juga Satelit
Pada 2015, Dwi mengaku telah merancang bangun sebuah kendaraan peluncur satelit. Namun pada kenyataannya, ia tidak pernah merancang teknologi semacam itu.
"Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi anggota dari sebuah tim beranggotakan mahasiswa yang merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE (Delft Aerospace Rocket Engineering), yang merupakan bagian dari kegiatan roket mahasiswa di TU Delft."
Selain itu, ia juga menambahkan, teknologi roket dan satelit pada hakikatnya bukan bidang keilmuan yang didalami oleh Dwi.
"Tidak benar juga bahwa saya bergerak dalam penelitian di bidang satellite teclmology and rocket development. Topik penelitian doktoral saya saat ini adalah dalam bidang intelligent systems khususnya virtual reality."
Â
3. Memenangi Lomba Antar Agensi Antariksa Dunia
Dalam berita yang dirilis Liputan6.com medio Juni 2017 lalu, Dwi Hartanto mengaku telah memenangi lomba riset teknologi antar agensi antariksa dunia yang digelar di Jerman.
Namun nyatanya, "Saya mengakui bahwa ini adalah kebohongan semata. Saya tidak pernah memenangkan lomba riset teknologi antar space agency di Jerman pada 2017."
Ia juga mengakui bahwa sejumlah teknologi yang sempat dimuat dalam berita Liputan6.com adalah fiktif.
"Teknologi 'Lethal weapon in the sky' dan klaim paten beberapa teknologi adalah tidak benar dan tidak pernah ada," lanjutnya.
"Saya memanipulasi template cek hadiah yang kemudian saya isi dengan nama saya disertai nilai nominal 15.000 euro, kemudian berfoto dengan cek tersebut. Foto tersebut saya publikasikan melalui akun media sosial saya dengan cerita klaim kemenangan saya."
Â
Advertisement
4. Merancang Jet Tempur
Sementara itu, dalam berita yang dirilis Liputan6.com medio Juni 2017 lalu, ia tengah mengembangkan pesawat tempur dan teknologi teranyar sepitar kedirgantaraan militer.
Namun, dalam surat permohonan maaf dan klarifikasi, Dwi menjelaskan, "Informasi mengenai saya bersama tim sedang mengembangkan teknologi pesawat tempur generasike-6 adalah tidak benar. Informasi bahwa saya (bersama tim) diminta untuk mengembangkan pesawat tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG adalah tidak benar."
Â
5. S1 di Indonesia, Bukan di Jepang
Dalam suatu kesempatan, Dwi Hartanto mengaku menamatkan program sarjananya di Tokyo Institute of Technology Jepang. Namun sesungguhnya, ia meraih gelar S1 di Institut Sains dan Teknologi Akademi Perindustrian (1ST AKPRIND) Yogyakarta.
Ia kemudian meraih beasiswa yang didanai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI untuk mengenyam pendidikan master di Belanda.
Namun, pada sebuah klaim, Dwi mengaku sebagai penerima beasiswa dari pemerintah Belanda.Â
Akan tetapi, kenyataannya ia mengklarifikasi, "Tidak benar bahwa kuliah program Master (S2) saya dibiayai oleh pemerintah Belanda. Kuliah S2 saya di TU Delft dibiayai oleh beasiswa yang dikeluarkan oleh Depkominfo, Republik Indonesia."
Surat yang berisi permohonan maaf dan klarifikasi Dwi Hartanto dapat dibaca dari laman elektronik resmi Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delf, Belanda (ppidelf.net).
Advertisement