Sukses

6 Fakta Mengejutkan tentang Sisa Makanan

Sebanyak 1,3 miliar ton makanan yang dibuang karena berbagai alasan ternyata sebenarnya cukup untuk kebutuhan pangan 3 miliar manusia.

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim merupakan masalah serius, bahkan yang paling berbahaya yang pernah dialami manusia. Setiap detik yang berlalu tanpa melakukan apa pun, akan membuat kondisi iklim semakin berbahaya dan sukar diperbaiki.

Salah satu 'pertolongan' pertama dan termudah serta efisien bagi spesies di muka Bumi adalah dengan melakukan penanganan sisa makanan.

Walaupun terjadi kelaparan di berbagai bagian dunia, ternyata ada banyak sekali makanan yang terbuang. Faktanya, sekitar sepertiga makanan terbuang menjadi sampah, baik ketika produksi, penjualan, ataupun dibuang oleh konsumen.

Jumlah makanan yang terbuang itu setara kira-kira 1,3 miliar ton per tahun. Di sejumlah negara berkembang Eropa dan Amerika Utara, hal tersebut sebagian besar diakibatkan oleh perilaku konsumen.

Sementara di negara-negara berkembang, keterbatasan teknis, manajerial, dan dana memainkan peran lebih besar. Ssekitar 40 persen pangan terbuang saat panen dan pemrosesan, sedangkan di negara-negara maju terjadi di tingkat retail dan konsumen.

Secara global, kurangnya infrastruktur, dana pertanian, cara canggih melakukan panen, teknologi pengangkutan, dan fasilitas pendingin berdampak pada sebagian besar kesia-siaan makanan.

Secara rata-rata, negara-negara kaya menghasilkan hampir 900 kilogram pangan per orang per tahun. Sedangkan kawasan-kawasan yang lebih miskin hanya menghasilkan 460 kilogram.

Dari jumlah tersebut, seorang konsumen Eropa dan Amerika Utara membuang 104 kilogram, sedangkan warga Afrika Sub-Sahara dan Asia menyia-nyiakan 8 kilogram.

Setiap tahun, para konsumen di kawasan-kawasan kaya dunia menyia-nyiakan 222 juta ton makanan yang hampir setara dengan keseluruhan produksi pangan di Afrika Sub-Sahara (230 juta ton).

Berikut ini 6 fakta mengejutkan tentang makanan yang terbuang sia-sia, disarikan dari toptenz.net pada Senin (9/10/2017):

2 dari 7 halaman

1. Membuang Makanan = Membuang Uang

Jangan langsung buang sisa makanan, Anda dapat memanfaatkannya untuk dijadikan makanan baru yang layak dikonsumsi. (Foto: iStockphoto)

Di beberapa negara, pengurangan potongan pajak diduga akan menghemat US$ 40 per tahun pada keluarga-keluarga berpenghasilan rendah.

Padahal, rata-rata rumah tangga dapat menghemat US$ 2.000 hanya dengan kesadaran lebih tentang perilaku manajemen makanan mereka.

Dalam konteks Amerika Serikat (AS), satu keluarga membuang sekitar seperempat makanan yang mereka beli. Sampah itu setara dengan US$ 1.365 hingga US$ 2.275 per tahun.

Secara total, AS membuang 35 juta ton makanan setiap tahun. Buangan itu setara dengan US$ 165 miliar. Di seluruh dunia, angka itu kira-kira US$ 1 triliun.

Di AS, menurut Natural Resources Defense Council (NRDC), salah satu alasannya adalah penambahan ukuran porsi dan kepadatan kalori dalam makanan.

Selama 20 tahun terakhir, ukuran hamburger membesar 23 persen, minuman ringan bertambah 52 persen, dan sajian keripik bertambah 60 persen.

Sedangkan rata-rata ukuran piza tidak bertambah, tapi kandungan kalorinya naik 70 persen lebih banyak. Kalori salad Caesar naik dua kali lipat dan kalori kue cokelat naik empat kali lipat.

Pasar swalayan juga menggunakan kiat dan taktik psikologis agar konsumen membeli tanpa membutuhkan (impulse-buy), misalnya melalui pembagian sampel dan kereta dorong yang lebih besar.

Suatu cara mengatasi jebakan-jebakan itu adalah dengan kebiasaan membuat daftar belanja dan mematuhinya.

3 dari 7 halaman

2. Pembuangan Lahan, Air, dan Keragaman Hayati

Namanya ikan dewa. Tapi, kekuatannya tak seperti namanya saat terpaksa berenang di air yang terkontaminasi air keruh Sungai Prukut. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pada 2007, luas total lahan yang terpakai untuk menghasilkan pangan yang terbuang setara dengan 1,4 miliar hektare. Suatu ukuran yang bahkan lebih luas daripada gabungan luas Kanada dan India.

Produk-produk hewani yang tersia-sia berkisar pada 4 hingga 7 persen dari keseluruhan makanan yang terbuang, tapi mencakup 78 persen luas kawasan yang disebut di atas.

Untuk lebih mengerti fenomena itu, kita perlu memahami bahwa suatu kawasan yang kira-kira seluas benua Afrika merupakan kawasan subur, sedangkan sepertiga kawasan gersang dipakai untuk pakan ternak.

Sekitar 10 juta hektar hutan seluruh dunia dibersihkan setiap tahun. Manajemen makanan secara serampangan ikut andil di sini, apalagi lahan pertanian pun merambah ke kawasan liar.

Kelebihan tangkapan ikan (overfishing) juga menjadi masalah serius. Ada perkiraan bahwa menjelang 2048 tidak akan ada lagi ikan di lautan yang layak secara komersial.

Sebagian alasannya adalah karena perikanan dipandang sebagai perburuan, sehingga para nelayan menangkap sebanyak-banyaknya. Bukan karena adanya permintaan, tapi karena tak mau nelayan-nelayan lain yang menangkapnya.

Selain itu, tangkapan berdasarkan ukuran telah mengurangi ukuran ikan tangkapan hingga setengahnya dalam empat dekade belakangan ini dan secara serius mengganggu kemampuan ikan untuk memulihkan populasi.

Ditambah lagi dengan tangkapan sampingan yang tak sengaja terjaring dan kemudian dibuang, sebanyak kira-kira 27 juta ton per tahun (sejak 1994). Lebih dari 300 ribu paus, lumba-lumba, penyu dan pesut mati terjaring setiap tahun.

Bicara soal pasokan air tawar, sekitar 70 persen mengalir ke pertanian, 20 persen dipakai oleh industri, dan 10 persen sisanya dipakai untuk keperluan domestik sehari-hari.

Makanan buangan menggunakan sekitar seperempat air tawar yang ada di Bumi.

 

4 dari 7 halaman

3. Seperempat Jumlah Makanan Terbuang dan Kelaparan Dunia

Pemulung mengambil sampah di tempat pembuangan sampah (TPS) di Blok C Pasar Minggu, Jakarta, Minggu (30/4). DPRD DKI meminta pemindahan TPS dekat Lokasi Binaan (Lokbin) Blok C Pasar Minggu dipercepat karena tidak layak. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Menyedihkan, ternyata seperempat jumlah makanan yang terbuang di dunia setiap tahun cukup untuk mengatasi kelaparan di dunia.

Secara rata-rata, AS membuang makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi 730 gelanggang sepak bola setiap tahun. Setengahnya adalah makanan yang segar, belum disentuh, dan layak santap.

Dengan kata lain, jumlah makanan bertengger di pasar swalayan dan restoran AS (dan kebanyakan negara Eropa) adalah dua kali lipat kebutuhan pangan seluruh warganya.

Jika kita juga menghitung jumlah jagung, jelai, dan tanaman layak santap lain yang dijadikan pakan ternak, maka AS memiliki jumlah pangan sebanyak 4 kali lipat yang dibutuhkan warga.

Akan tetapi, sekitar sepertujuh warga AS – sekitar 50 juta orang – berjuang keras mendapatkan makanan layak.

Dalam pandangan internasional, ada lebih dari 800 juta orang yang terbiasa kelaparan atau kurang gizi. Padahal, sebanyak 1,3 miliar ton makanan yang dibuang karena berbagai alasan itu sebenarnya cukup memenuhi kebutuhan pangan 3 miliar manusia.

Jika kita menghemat seperempat makanan terbuang, sebenarnya hal itu sama saja dengan memberi makan 870 juta orang –- setara dengan jumlah manusia kelaparan sedunia seperti disebut sebelum ini.

Ketika melihat angka-angka itu, tidak heran kalau orang menyebut hal ini sebagai masalah paling bodoh di seluruh dunia.

Kelebihan pangan itu memang penanda keberhasilan Revolusi Pertanian pada 12 ribu tahun lalu, tapi manajemen salah kaprah mendesak batas ekologis planet hingga nyaris ambruk.

Padahal, diperkirakan penduduk dunia ini akan berjumlah 9 miliar manusia menjelang 2050.

Dengan kondisi demikian, apakah 1,5 miliar manusia kelaparan akan tercukupi kebutuhannya atau tetap kelaparan?

5 dari 7 halaman

4. Demi Memenuhi Standar Keindahan

Ilustrasi buah-buahan. (Sumber Pixabay)

Dalam beberapa dekade terakhir, kita menjadi terbiasa kelimpahan makanan di sekitar. Sehingga muncullah perilaku menilai makanan berdasarkan tampilannya.

Kenyataannya, makanan yang tampak jelek pun baik untuk dimakan walaupun bentuk, ukuran, atau warna tidak sempurna. Namun, yang terjadi justru kerap dibuang begitu saja.

Alasannya hanya karena benjolan sedikit atau adanya variasi warna, maka buah atau sayuran turun kelas dan harga setidaknya dua per tiga sehingga tidak menguntungkan bagi petani untuk memetiknya. Padahal, proses memetik membutuhkan uang, waktu, dan tenaga.

Dalam keadaan normal, para petani di seluruh industri pertanian harus meninggalkan sepertiga panen hingga membusuk karena adanya tingkatan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sebenarnya, buah dan sayuran yang terbengkalai itu bisa untuk mereka yang membutuhkan. Tapi biaya petik, kemasan, penyimpanan, dan pengiriman tidak ditanggung dalam hibah pemerintah atau keringanan pajak sehingga memaksa petani mengutamakan keuntungan terlebih dahulu.

Ketika makanan itu tiba di rak-rak pasar maupun pasar swalayan, jumlahnya pun dibuat melimpah agar tampak tersedia dalam jumlah banyak.

Penjual mengerti bahwa jika hanya tersisa sedikit di pajangan, pada umumnya orang tidak akan membeli. Hal itu terjadi karena kita cenderung menganggap bahwa yang tersisa adalah yang kurang bagus.

Karena kesalahpahaman itu, banyak kelimpahan buah dan sayuran yang membusuk, baik di rak-rak penjualan maupun di gudang toko.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

6 dari 7 halaman

5. Tanggal Kedaluwarsa

Ilustrasi penanda tanggal kadaluarsa makanan. (Sumber Flickr)

Pernahkah kita makan yoghurt atau makanan lain dalam kemasan utuh dan kemudian merasa mual setelah melihat tanggal kedaluwarsa yang sudah sudah terlewati 2 hari?

Kenyataannya, tanggal kedaluwarsa lebih sebagai perkiraan atau mungkin menjadi cara pabrikan agar kita bergegas membuang makanan yang masih layak dan membeli lagi yang baru.

Hingga sekarang di AS, susu formula bayi memiliki syarat tanggal kedaluwarsa yang diwajibkan di tingkat federal. Tapi, untuk produk-produk lain, tanggal kedalwuarsa ditetapkan menurut perkiraan pabrikan sendiri.

Pencantuman tanggal kedaluarsa mulai muncul di awal 1970-an ketika populasi tidak lagi menanam dan membuat makanan mereka sendiri, tapi membeli bahan di pasar swalayan.

Toko-toko menggagas sistem "penanggalan terbuka", yaitu ketika pabrikan secara sukarela menempelkan tanggal pada produk makanan yang secara bebas menandai waktunya makanan itu mencapai puncak kesegaran (bukan waktunya menjadi busuk).

Cara itu dipakai oleh toko untuk menentukan seberapa lama memajang makanan di rak-rak mereka.

Sementara itu, sistem "closed dating" menunjukkan tanggal pembuatan produk. Pada awalnya, hal itu membantu, tapi kemudian diterima terlalu harafiah oleh konsumen dan akhirnya berujung masalah pada pembuangan makanan.

Walaupun hampir tidak mungkin menentukan kelayakan santap pada makanan yang terbuang berdasarkan tanggal-tanggal tersebut di atas, survei mengungkapkan 54 persen konsumen percaya bahwa menyantap makanan yang telah lewat tangga kadaluarsa mengakibatkan risiko kesehatan.

Bukan hanya itu, sekitar 91 persen konsumen mengatakan bahwa mereka seringkali membuang makanan yang telah lewat "tanggal jual", sedangkan 37 persen mengatakan selalu membuang makanan yang telah lewat "tanggal pakai."

  

7 dari 7 halaman

6. Penghasil Terbesar Emisi Gas Rumah Kaca

Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Jika dimisalkan sebagai suatu negara, maka pembuangan makanan menjadi penghasil terbesar emisi gas rumah kaca.

Pertanian sesungguhnya merupakan dampak terbesar kemanusiaan pada planet ini. Sejauh ini, pertanian mengambil lahan terluas dan air terbanyak dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lain.

Degradasi tanah dan polusi air menjadi topik yang panjang, tapi coba pikirkan dulu tentang polusi udara.

Perubahan komposisi kimia pada atmosfer menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.

Di seluruh dunia, makanan sisa menghasilkan 3,3 miliar ton gas CO2 ataupun yang setaranya ke atmosfer. Jika dimisalkan sebagai negara, maka angka itu bertengger pada pada urutan ke-3 setelah China dan AS.

Emisi itu sendiri terdiri dari dua bagian.

Pertama adalah emisi gas metan dari makanan yang membusuk. Jika kita membuang bagian tengah buah apel atau kulit pisang di hutan, hal itu tidak menjadi masalah.

Namun, ketika ratusan ton material organik bertumpuk di tempat pembuangan, maka sisa makanan ini akan membusuk dalam lingkungan kurang udara yang mengarah kepada pembentukan gas metan. Padahal gas metan itu adalah gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada CO2.

Kedua adalah energi yang diperlukan untuk menghasilkan makanan itu di awalnya. Diperkirakan, untuk setiap 1 kkal makanan, petani menggunakan 3 kkal energi fosil.

Belum lagi energi yang dipakai untuk pemrosesan makanan, transportasi, atau penyimpanan.

Sebagai contoh, pada 2003 AS menggunakan lebih dari 300 juta barel minyak bumi pada makanan yang langsung menuju tempat sampah, padahal buangan makanan itu langsung mengeluarkan gas metan.