Liputan6.com, Teheran - Panglima Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam, Jenderal Mohammed Ali Jafari, menyarankan agar Amerika Serikat memindahkan pangkalan militernya lebih jauh dari perbatasan Iran jika Washington menjatuhkan sanksi baru bagi negaranya.
"Jika sanksi baru diberlakukan, negara tersebut harus memindahkan pangkalan regionalnya ke radius 2.000 kilometer di luar jangkauan rudal Iran," demikian ungkap Jenderal Jafari seperti dikutip dari Al Araby pada Senin (9/10/2017).
AS memiliki pangkalan militer yang tersebar di sejumlah negara tetangga Iran, termasuk Bahrain, Irak, Oman dan Afghanistan. Namun, Jafari tak menjelaskan lebih jauh maksud pernyataannya.
Advertisement
Jafari pun menolak gagasan untuk berdialog dengan AS terkait dengan isu regional. Ia tegaskan jika AS mencap Korps Garda Revolusi Islam sebagai kelompok teroris, maka pihaknya juga tak segan menganggap militer AS sebagai kelompok teroris.
Jika kelak AS menjatuhkan sanksi baru, maka menurut Jafari langkah tersebut akan menghilangkan "kesempatan jalinan hubungan baik" antara kedua negara.
Belakangan muncul analisis yang menyebutkan bahwa Presiden Donald Trump akan memilih bertahan dalam kesepakatan nuklir Iran yang ditandatangani pada tahun 2015. Namun, di samping itu, AS akan mengambil tindakan lain yang menyasar Iran dan afiliasinya.
Baca Juga
Tindakan itu diduga akan menargetkan Korps Garda Revolusi Islam yang dikabarkan memiliki hubungan dengan sejumlah kelompok militan asing dan Hizbullah.
Diperkirakan, tindakan itu termasuk sanksi finansial terhadap siapa saja yang "berurusan" dengan Korps Garda Revolusi Islam.
Adapun Presiden Hassan Rouhani pada hari Sabtu lalu menyatakan pembelaannya terhadap kesepakatan nuklir Iran. Ia berkeyakinan, Trump tidak akan meninggalkan perjanjian tersebut.
"Dalam negosiasi dan kesepakatan nuklir, kami mencapai solusi masalah dan keuntungan yang tidak dapat dibatalkan. Tak seorang pun dapat menariknya kembali, baik Trump atau orang lain. Bahkan, meski 10 Trump diciptakan di dunia, tetap ini tak bisa dicabut," terang Rouhani saat berpidato di Tehran University.
15 Oktober Adalah Penentu?
Akhir pekan ini, tepatnya 15 Oktober merupakan waktu di mana Presiden Trump akan mengumumkan kebijakannya terkait dengan kesepakatan nuklir Iran. Presiden ke-45 AS itu telah berulang kali menyatakan bahwa kesepakatan nuklir Iran sebagai yang terburuk dan paling merugikan AS.
Jika sebagian berpendapat bahwa Trump akan melanjutkan perjanjian tersebut dengan catatan akan menjatuhkan sanksi baru. Namun, tak sedikit yang memperkirakan bahwa Trump akan menghapus sertifikasi atas alasan Iran tidak mematuhi peraturan yang tercantum dalam kesepakatan itu.
Meski demikian, upaya Trump itu tidak akan "membunuh" kesepakatan tersebut.
Seluruh pihak yang bertugas untuk memeriksa komitmen Iran atas perjanjian nuklir tersebut sejauh ini menegaskan bahwa Negeri Para Mullah itu tidak melanggar aturan. Hal senada diungkapkan pula oleh Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dan Panglima Militer AS Joseph Dunford di hadapan Kongres.
Seperti dikutip dari The Washington Post, kendati demikian, pemerintah AS berkilah bahwa Iran tidak mengikuti semangat kesepakatan tersebut. Dan mereka mengganggap ini sebagai bentuk ketidakpatuhan secara de facto.Â
Menurut Tillerson dan pejabat AS lainnya, Iran tidak memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian dan keamanan regional serta internasional, sebuah harapan yang disematkan dalam pembukaan kesepakatan tersebut. Washington masih melihat dukungan Iran terhadap sejumlah kelompok militan seperti Hizbullah dan Hamas serta kelompok pemberontak di Suriah dan Yaman.
Teheran juga melakukan uji coba rudal balistik, sesuatu yang memicu kemarahan AS, meski uji coba semacam itu bukan merupakan bentuk pelanggaran atas kesepakatan tersebut.
Presiden AS memiliki tanggung jawab untuk mengumumkan secara berkala hari bahwa Iran mematuhi atau tidak kesepakatan nuklir tersebut. Yang berikutnya adalah pada 15 Oktober.
Advertisement