Sukses

2 Dekade Berlalu, AS Akhirnya Cabut Sanksi Ekonomi untuk Sudan

Meski keluar dari sanksi ekonomi AS setelah 2 dekade lamanya, Sudan masih masuk dalam daftar 'negara yang mensponsori terorisme'.

Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat akhirnya mencabut sanksi ekonominya terhadap Sudan setelah menerapkannya selama dua dekade. Pencabutan yang akan efektif berlaku pada 12 Oktober nanti, menandai lembaran baru bilateral kedua negara yang sempat terputus sejak 1997.

AS mencabut sanksi ekonomi terhadap Sudan setelah Khartoum dianggap telah mematuhi ketentuan wajib yang dicanangkan oleh Washington. Demikian seperti dikutip dari Quartz, Selasa (10/10/2017).

Ketentuan itu berupa, kewajiban Sudan untuk memberikan bantuan kemanusiaan usai Perang Saudara Sudan - Sudan Selatan beberapa tahun lalu, menghentikan segala bentuk kekerasan dan konflik di kawasan, memutus dukungan terhadap terorisme, serta berkolabroasi bersama AS untuk memberantas teror.

Akan tetapi, meski AS telah mencabut sanksi ekonomi terhadap Sudan, negara yang dipimpin oleh Presiden Omar al-Bashir itu tetap masuk dalam daftar Washington terkait 'negara yang mensponsori terorisme'.

Pemerintah AS, melalui Kementerian Luar Negeri menjelaskan, setelah melakukan peninjauan selama 16 bulan terakhir, Sudan telah menunjukkan komitmennya untuk memprosikan stabilitas di kawasan.

Contohnya meliputi komitmen Khartoum untuk menghentikan konflik bersenjata di Darfur dan South Kordofan, serta berkolaborasi bersama AS untuk memberantas kelompok ekstremis Lord Resistance Army (LRA) di Uganda dan Sudan Selatan.

Pencabutan sanksi ekonomi itu juga terjadi dua pekan usai AS menghapus nama Sudan dari daftar travel ban mereka.

Sejak 1997, negara dengan Ibu Kota Khartoum itu dijatuhi sanksi oleh AS karena diduga mendukung sejumlah kelompok terorisme, termasuk di antaranya menyediakan safe haven untuk Osama bin Laden. Setelah AS, berbagai macam sanksi yang dijatuhkan oleh PBB turut menyusul, dilatarbelakangi sejumlah dugaan seperti pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan.

Kemudian, sejumlah investor dan pegiat bisnis --salah satunya Pertamina dari Indonesia-- menarik diri dari Sudan.

Hal itu menyebabkan krisis ekonomi di negara Afrika itu, memicu utang, inflasi, dan lumpuhnya sektor perbankan.

Krisis ekonomi semakin diperparah ketika Sudan Selatan (yang kaya akan minyak) memisahkan diri pada 2011. Akibatnya, Khartoum kehilangan setengah pendapatan negara dan menyebabkan harga minyak di Sudan mengalami kenaikan.

Namun, semua itu berubah pada akhir masa kepemimpinan Presiden Barack Obama. AS akhirnya mengumumkan rencana untuk mencabut sanksi terhadap Sudan dalam waktu dekat, setelah menurut penilaian, negara yang dipimpin oleh Presiden Omar al-Bashir itu telah berhasil memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Washington, DC.

Seperti salah satunya, memutus hubungan dengan Korea Utara serta mematuhi sanksi yang dijatuhi oleh PBB.

Akan tetapi, seperti yang dilaporkan oleh media investigatif The Intercept, niat AS untuk mencabut sanksi ekonomi terhadap Sudan pada waktu itu, turut dipengaruhi oleh keterlibatan Khartoum dalam Perang Saudara di Yaman sejak 2015.

Menurut The Intercept, seperti dikutip dari Quartz, Presiden Sudan Omar al-Bashir memerintahkan ratusan tentaranya untuk bertempur menjadi koalisi Arab Saudi - Uni Emirat Arab (yang didukung AS) dalam Perang Yaman.

Selain itu, langkah Presiden al-Bashir memutus relasi dengan Iran, semakin menyenangkan hati Saudi - UAE.

Langkah politis yang dilakukan oleh al-Bashir itu membuat Saudi - UAE turut membantu melakukan lobi politik kepada AS agar sanksi ekonomi terhadap Sudan dapat dicabut.

2 dari 2 halaman

Sudan Menyambut Baik Pencabutan Sanksi AS

Melalui sebuah keterangan pers yang diperoleh Liputan6.com dari Kedutaan Besar Sudan di Indonesia pada Senin 9 Oktober, Khartoum sangat menyambut baik keputusan AS untuk mencabut sanksi ekonomi tersebut.

"Sudan menilai keputusan ini sebagai perkembangan penting dalam sejarah hubungan Sudan-AS, yang merupakan hasil murni dari sebuah dialog terbuka, transparan dan konstruktif dalam upaya mengatasi semua masalah di antara kedua negara," jelas keterangan pers tertanda dari Ghareb Allah Khidir, Juru Bicara Kemlu Sudan.

"Menyusul keputusan ini, Sudan sepenuhnya menegaskan komitmen untuk terus menjalin kerja sama dengan Amerika Serikat dalam berbagai persoalan pada tingkat bilateral, regional dan internasional yang menjadi perhatian bersama."

Rilis itu juga menjelaskan, pemulihan hubungan dengan AS ke depannya juga ditujukan sebagai upaya Sudan untuk keluar dari daftar Washington tentang negara yang mensponsori terorisme.

"Sudan bercita-cita membangun kembali hubungan normal dan dapat terus berkembang dengan Amerika Serikat. Akan tetapi, hal itu tentu menuntut penghapusan nama Sudan dari daftar negara yang menjadi sponsor terorisme karena hal itu tidak relevan dengan Sudan," jelas keterangan pers itu.

Sementara itu, dalam waktu dan kesempatan yang terpisah, Dubes Sudan untuk RI Elsiddieg Abdulaziz Abdalla yakin, pencabutan sanksi AS akan membuat negaranya kembali bangkit.

"Setelah AS mencabut sanksi terhadap kami, ekonomi dan investasi di Sudan akan kembali berkembang. Harapannya, setelah itu, investasi dan pegiat bisnis akan bertandang lagi dan perekonomian kami akan bangkit. Saya sangat optimistis," dalam sebuah wawancara di Jakarta, 12 September 2017.

Saksikan video pilihan berikut ini: