Liputan6.com, Manila - Presiden Rodrigo Duterte telah memerintakan Kepolisian dan Angkatan Bersenjata Filipina untuk menghentikan keterlibatan mereka dalam kebijakan War on Drugs di negara dengan Ibu Kota Manila itu.
Duterte juga memerintahkan agar semua operasi kebijakan itu kini hanya ditangani oleh agensi yang khusus melakukan penegakan hukum anti-narkotika saja.
Istana Kepresidenan Malacanang membuat memorandum yang berisi perintah agar operasi penumpasan narkotika hanya dilakukan oleh Philippine Drug Enforcement Agency (PDEA) semata. Demikian seperti dilansir The Guardian, Kamis (12/10/2017).
Advertisement
Baca Juga
Dokumen itu menjelaskan, perubahan peran tersebut bertujuan untuk 'memberikan keteraturan dari segi operasional dan menunjukkan pertanggungjawaban yang tepat dalam kebijakan melawan obat-obatan terlarang.'
Memorandum itu juga memerintahkan Kepolisian Nasional Filipina (PNP) agar setiap saat tetap menjaga presensi dan berperan sebagai pencegah aktivitas ilegal.
Tak jelas mengapa Duterte memerintahkan perubahan peran tersebut. Baik juru bicara kepresidenan maupun sekretariat komunikasi negara juga belum memberikan tanggapan lebih lanjut.
Sedangkan juru bicara PDEA berkomentar, agensinya akan melaksanakan perintah sesuai yang diamanatkan presiden. Namun, tak ada komentar lebih lanjut terkait perubahan peran itu.
Sebelumnya, PNP telah bertanggung jawab atas sebagian besar penangkapan dan pembunuhan tersangka kasus narkotika dalam kebijakan yang telah terlaksana selama 15 bulan terakhir.
Seperti dikutip dari The Guardian, perubahan peran itu dianggap akan menumpulkan upaya pemerintah untuk memberantas kejahatan narkotika di kawasan. Karena dari segi personel, PDEA memiliki kuantitas yang jauh lebih sedikit ketimbang PNP yang memiliki sekitar 190.000 petugas.
Bukan Mandat Baru
Mandat terbaru yang dikeluarkan Duterte itu sejatinya bukanlah hal baru.
Pada Januari lalu, Duterte pernah mengeluarkan perintah yang sama, didasari atas ketidakpercayaan sang presiden terhadap PNP yang disebutnya sebagai 'organisasi yang korup hingga ke akar-akarnya'.
Namun, perintah itu dicabut oleh sang presiden lima pekan kemudian, atas dalih bahwa obat-obatan terlarang telah kembali menyebar luas ke jalan-jalan, dan negara mengalami kekalahan dalam 'perang narkotika' tersebut.
Setidaknya, sekitar 3.900 warga Filipina tewas dalam operasi War on Drugs yang dipimpin oleh PNP pada beberapa bulan lalu.
Kepolisian berdalih, tingginya angka korban sipil dalam operasi itu disebabkan oleh aksi pertahanan diri yang dilakukan oleh para personelnya. Karena, hampir sebagian besar tersangka yang hendak diciduk, melakukan perlawanan pada petugas. Ujar keterangan dari PNP.
Sedangkan sejumlah organisasi pegiat HAM menuding, aksi yang dilakukan polisi justru merupakan tindakan ekstra-yudisial --di luar norma dan regulasi hukum-- serta bertendensi melanggar hak asasi manusia.
Mereka juga mengkritik langkah pemerintah yang tidak mengusut pertanggungjawaban dari para personel PNP yang dituduh melakukan aksi ekstra-yudisial dalam operasi tersebut.
Keputusan Duterte untuk mengalihkan peran pemberantasan narkotika dari PNP ke PDEA muncul setelah berbagai protes dan survei opini publik yang mengecam aksi ekstra-yudisial Kepolisian dalam operasi tersebut.
Selain itu, sebuah jajak pendapat yang dirilis pada Minggu 7 Oktober menunjukkan penurunan tajam opini publik tentang kinerja dan kepribadian Duterte.
Sedangkan, pada hari Rabu, pakar hukum HAM melobi pengadilan tinggi Filipina untuk menghentikan kebijakan War on Drugs, dengan mengatakan bahwa hal itu ilegal dan memungkinkan polisi untuk menghindari prosedur hukum.
Advertisement