Sukses

Terkuak, Alasan di Balik Ritual Kuno Pengorbanan Gadis Perawan

Sejumlah kebudayaan ini pernah mempraktikkan ritual pengorbanan perawan. Apa yang mendasarinya?

Liputan6.com, Athena - Dahulu kala, ketika hal-hal sulit terjadi, diyakini dengan mengorbankan seorang perawan kepada para dewa merupakan solusi terbaik, untuk mengembalikan kemakmuran maupun kestabilan. 

Gadis perawan dikorbankan dengan berbagai cara. Ada yang dilempar ke laut, dikubur hidup-hidup, atau diumpankan untuk dimangsa hewan buas.

Setidaknya itulah praktik yang diyakini telah dilakukan oleh sejumlah kebudayaan pada masa lampau.

Selain untuk mendapatkan kemakmuran, ritual pengorbanan perawan dapat dilakukan dengan sejumlah alasan, mulai dari untuk memenangkan perang, menenangkan dewa yang marah, atau untuk melindungi sebuah bangunan.

Menurut penelitian yang dilakukan sejauh ini, praktik tersebut tampaknya diakui secara luas. Pasalnya, banyak budaya yang menunjukkan jejak pengorbanan perawan dalam mitologi dan teks kepercayaan yang mereka anut.

Dikutip dari Ancient Origins, Jumat (13/10/2017), dalam legenda yang ditulis oleh penyair Yunani kuno, Homer, Iphigeneia terpaksa dikorbankan oleh ayahnya Agamemnon untuk menenangkan Dewi Artemis. Hal itu dilakukan agar dewi tersebut mengizinkan orang-orang Yunani untuk melakukan Perang Troya.

Dalam mitologi Yunani lain, pengorbanan seorang perawan diawali oleh kisah Ratu Cassiopeia, istri cantik dari Raja Cepheus. Suatu hari, ia membual bahwa anak perempuannya, Andromeda, jauh lebih cantik dibanding 50 Nereids, anak perempuan Nereus dan Doris.

Hal tersebut membuat Poseiden marah. Pasalnya, penguasa laut itu menikah dengan Amphrite, Nereids tertua.

Monster laut Poseidon, Cetus, kemudian menghancurkan kota tempat Andromeda tinggal. Usahanya dalam membuat kekacauan tak berhenti hingga kota itu berantakan.

Satu-satunya cara untuk menghentikan Cetus adalah dengan mengorbankan Andromeda kepadanya. Raja Cepheus kemudian mematuhi Poseidon dan merantai putrinya ke sebuah batu, menjadikannya tumbal, demi menyelamatkan wilayah tempatnya tinggal.

 

2 dari 2 halaman

Dikubur Hidup-Hidup di Pondasi Bangunan

Sementara itu sebuah buku harian dari Abad ke-15, Yasiitomi-ki, menyebut soal adanya praktik bernama 'Hitobashira' atau pilar manusia. Dalam praktik itu, para perawan dikubur hidup-hidup di dasar atau di dekat bangunan. Hal itu dipercaya akan melindungi bangunan itu dari bencana atau serangan musuh.

Namun menurut Pliny the Elder, pengorbanan manusia di Zaman Romawi Kuno telah dihapuskan oleh sebuah keputusan senator pada tahun 97 SM. Meski pada saat itu praktik pengorbanan manusia merupakan hal langka, keputusan tersebut merupakan sebuah tindakan simbolis.

Sementara itu dalam kebudayaan di Asia Selatan, Vedic Purushamedha atau pengorbanan manusia, merupakan sebuah tindakan simbolis murni dalam catatan paling awal.

Hal tersebut kemudian diikuti oleh periode adanya masa malu untuk melakukan kekerasan. Pasalnya, periode itu bertepatan dengan kebangkitan Buddhisme dan Jainisme yang menekankan pada ahimsa atau tindakan non-kekerasan.

Periode tersebut sesuai dengan komposisi Chandogya Upanishad (8-6 SM) yang memuat daftar non-kekerasan sebagai sebuah kebajikan.