Liputan6.com, New Hampshire - Sejak melarikan diri dari tragedi 1998 di Indonesia pada tahun yang sama, Meldy dan Eva Lumangkun --pasutri berdarah Tionghoa-- membangun rumah tangga di New Hampshire, Amerika Serikat.
Di Negeri Paman Sam, keduanya membesarkan empat orang anak, di tengah status Meldy dan Eva sebagai imigran ilegal.
Meldy dan Eva tak khawatir, karena sejak eskodus dari RI ke AS pada 1998, Otoritas Keimigrasian AS (ICE) menoleransi status imigran ilegal kedua pasutri.
Advertisement
Otoritas memberikan kelonggaran kepada mereka untuk tetap dapat tinggal di New Hampshire, sepanjang mereka melakukan wajib lapor berkala ke kantor Keimigrasian AS.
Namun semua itu berubah sejak Donald Trump naik menjadi presiden ke-45 AS, bersama dengan kebijakannya yang ketat
Pada Agustus 2017, ketika Meldy dan Eva melakukan wajib lapor, otoritas Keimigrasian menyuruh mereka untuk membeli tiket sekali jalan, keluar dari AS dan kembali ke Indonesia dalam waktu dua bulan. Demikian seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (17/10/2017).
"Kami takut pulang ke rumah. Kami takut akan keselamatan anak-anak kami. Di sini anak-anak kita bisa hidup dengan aman," kata Meldy Lumangkun usai bertemu dengan pejabat ICE di Manchester, New Hampshire pada Oktober 2017 ini, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Keluarga Lumangkun termasuk di antara sekitar 2.000 orang Kristen Indonesia-Tionghoa yang melarikan diri ke New Hampshire untuk menghindari kerusuhan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang menewaskan sekitar 1.000 orang pada tahun 1998.
Mereka juga termasuk di antara puluhan ribu imigran ilegal AS yang sekarang menghadapi kemungkinan deportasi. Khususnya setelah pemerintahan Trump kembali membuka kasus orang-orang seperti keluarga Lumangkun, yang mendapat penangguhan hukum keimigrasian dari pemerintahan Washington sebelumnya.
Sejak Trump resmi menjabat sebagai presiden pada Januari 2017, administrasinya telah melakukan operasi penangkapan keimigrasian tiga kali lipat lebih banyak dari tahun sebelumnya atau sekitar 142 orang per hari.
Keluarga Lumangkun dan orang Kristen Indonesia lainnya di New Hampshire mengatakan bahwa mereka takut akan diskriminasi atau kekerasan agama jika mereka kembali ke Tanah Air.
Karena kontrol mereka yang luas atas perdagangan dan bisnis, serta dugaan loyalitas ke China, orang Indonesia-Tionghoa sering menjadi sasaran diskriminasi rasial di Tanah Air.
Pada 1998, massa yang mengamuk menargetkan bisnis milik China dan dalam beberapa kasus membunuh dan memperkosa orang Tionghoa-Indonesia, memaksa ratusan orang untuk melarikan diri dari negara tersebut.
Sebagian besar orang Indonesia eksodus 1998 yang sekarang menghadapi deportasi masuk ke AS secara legal dengan menggunakan visa turis. Mereka yang gagal mendapatkan suaka, melakukan overstayed visa.
Karena banyak yang tidak mengetahui batas waktu overstayed visa, mereka akhirnya menghadapi ancaman hukum. Baru setelah itu, para warga Indonesia tersebut mencari bantuan advokat.
Mereka yang berhasil mengajukan advokasi hukum, dapat resmi berubah kewarganegaraan menjadi WN Amerika Serikat. Yang gagal, terancam deportasi.
Akan tetapi, berdasarkan kesepakatan yang dinegosiasikan dengan ICE pada 2012, serta dengan bantuan Senator AS Jeanne Shaheen, kelompok yang terancam dideportasi tersebut diizinkan untuk tinggal di negara tersebut jika mereka menyerahkan paspor mereka dan melaksanakan wajib lapor berkala ke Keimigrasian AS.
Berdasarkan kesepakatan 2012 dengan ICE, sekitar 69 orang Indonesia yang tinggal di New Hampshire diizinkan untuk tinggal.
Sementara itu, sekitar 45 orang Kristen Indonesia lainnya di New Jersey juga menetap dengan kesepakatan serupa yang dinegosiasikan secara independen dan terpisah dengan kluster di New Hampshire.
Akan tetapi, memasuki Agustus 2017, mereka yang tinggal di AS dengan bernaung di bawah payung kesepakatan 2012 lalu, harus bersiap kembali ke Indonesia.
Menurut ICE, kebijakan untuk melakukan deportasi tersebut --termasuk para warga Indonesia seperti keluarga Lumangkun-- selaras dengan perintah eksekutif yang ditandatangani oleh Trump pada tanggal 25 Januari yang membatalkan banyak kebijakan imigrasi era Obama.
Di bawah pedoman baru tersebut, semua orang yang tinggal secara ilegal adalah target deportasi yang potensial --terutama yang memiliki catatan kriminal.
"Perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Trump pada Januari mengubah segalanya," kata juru bicara ICE Shawn Neudauer.
Saat ini, Liputan6.com masih menunggu konfirmasi informasi tersebut dari Kementerian Luar Negeri RI.