Sukses

Studi: El Nino Berperan Atas Meningkatnya CO2 di Atmosfer

Satelit NASA OCO-2 mengungkap bahwa kenaikan suhu dan kekeringan di daerah di Amerika Selatan, Afrika, dan Indonesia disebabkan El Nino.

Liputan6.com, Lincoln - Sejak Revolusi Industri terjadi pada 1800-an, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mengalami peningkatan. Namun, pada 2015 dan 2016 terjadi peningkatan CO2 tak terduga.

Untuk mengetahui penyebabnya, sebuah studi yang dilakukan NASA menganalisis data yang dikumpulkan oleh satelit pemantau atmosfer, Orbiting Carbon Observatory-2 (OCO-2).

Satelit tersebut mampu membaca ribuan level karbon dioksida per hari berdasarkan area tertentu. Satelit itu juga dapat menghitung kemampuan vegetasi dalam memproses karbon dioksida melalui fotosintesis.

Dalam studi yang menganalisis data selama dua tahun itu, peneliti membandingkannya dengan data 2011, ketika cuaca dan siklus proses karbon Bumi berada di level normal.

Mereka pun menyimpulkan bahwa kenaikan suhu dan kekeringan di daerah tropis di Amerika Selatan, Afrika, dan Indonesia disebabkan oleh El Nino.

Dikutip dari New Atlas, Rabu (18/10/2017), El Nino muncul di Samudra Pasifik setiap beberapa tahun sekali. Hal itu bermula saat air hangat di dekat Filipina dan Indonesia bergerak ke timur menuju Amerika Selatan dan efeknya dapat memengaruhi seluruh Bumi.

Hangatnya permukaan air laut membuat intensitas hujan menurun. Hal tersebut menyebabkan kekeringan di daerah-daerah, seperti Australia, India, Asia Tenggara, Indonesia, dan Amerika Selatan bagian timur laut. Sementara itu, curah hujan justru meningkat di tempat-tempat seperti Peru, Chile, dan Ekuador.

Pemimpin studi, Junjie Liu, mengatakan bahwa daerah di Amerika Selatan, Afrika, dan Indonesia mengeluarkan 2,5 gigaton karbon lebih banyak dibanding pada 2011.

"Analisis kami menunjukkan bahwa lebihan karbon dioksida ini menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan karbon dioksida di atmosfer antara tahun 2011 dan tahun-tahun puncak, yakni 2015-2016," jelas Liu.

"Data OCO-2 memungkinkan kita untuk mengukur bagaimana pertukaran karbon di daratan dan atmosfer di masing-masing wilayah yang terpengaruh selama El Nino berlangsung," imbuh dia.

 

2 dari 2 halaman

Hubungan El Nino terhadap Meningkatnya CO2

Studi tersebut menggabungkan data OCO-2 untuk mengetahui proses spesifik di setiap wilayah yang berkontribusi terhadap meningkatnya CO2 secara tajam.

Di timur dan tenggara Amerika Selatan terjadi kekeringan terparah dalam tiga dekade terakhir. Suhu yang berada di atas rata-rata, membuat vegetasi di sana mengalami stres dan menyebabkan melambatnya fotosintesis -- membuat tanaman lebih sedikit mengambil karbon dari atmosfer.

Pada saat yang sama, Afrika mengalami suhu yang lebih panas tapi tak mengalami kekeringan. Hal itu mempercepat laju pembusukan pohon dan tanaman yang mati sehingga menghasilkan lebih banyak CO2.

"Kami tahu El Nino adalah salah satu faktor hal ini, tapi sampai sekarang kami tak mengerti, dalam skala wilayah, apa proses terpentinganya," ujar Wakil Proyek Sains misi OCO-2, Annemarie Eldering.

"Memahami bagaimana siklus karbon di wilayah ini merespons El Nino akan memungkinkan ilmuwan untuk memperbaiki model siklus karbon, yang harus mengarah pada prediksi yang membaik soal bagaimana planet kita merespons kondisi serupa di masa depan."

"Temuan tim menyiratkan bahwa jika iklim masa depan membawa kekeringan lebih lama, seperti yang diakibatkan El Nino terakhir, akan lebih banyak karbon dioksida yang mungkin tertinggal di atmosfer, yang menyebabkan kecenderungan menghangatnya Bumi semakin jauh," jelas Eldering.

Beberapa orang mungkin melihat proses alamiah itu sebagai bukti bahwa bukan manusia yang menyebabkan perubahan iklim. Namun, hal tersebut tak semata-mata dapat dibenarkan karena banyak penelitian lain telah menungkap "peran" manusia atas perubahan iklim, sedikit atau banyak.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: