Liputan6.com, Washington, DC - Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter (93) menyatakan bersedia terbang ke Korea Utara untuk melunakkan ketegangan antara Washington dan Pyongyang. Hal tersebut diungkapkan Carter dalam wawancaranya dengan kolumnis the New York Times di kediamannya di Plains, Georgia.
Sejak meninggalkan Gedung Putih, politikus Demokrat tersebut telah aktif di panggung dunia melalui the Carter Center. Pada tahun 1994, Carter pergi ke Pyongyang dan menegosiasikan kesepakatan jangka pendek untuk mengurangi ketegangan yang tak kunjung terselesaikan sejak Perang Korea pada 1953.
Pada tahun 2010, ia kembali ke Korut untuk menegosiasikan pembebasan seorang warga AS yang ditahan di sana. Langkah serupa pun dilakukannya pada 2011.
Advertisement
Ketika ditanya apakah dia akan pergi ke Korut lagi, Carter menjawab, "Ya, saya akan pergi". Demikian seperti dikutip dari The Guardian pada Senin (23/10/2017).
Dijelaskan Carter, ia telah berbicara dengan Penasihat Keamanan Nasional HR McMaster dan menyatakan kesediaannya untuk pergi ke Korut. "Saya sampaikan padanya bahwa saya bersedia jika mereka membutuhkan saya. Namun sejauh ini belum ada permintaan," ujar Carter.
Carter menjelaskan bahwa dia takut konflik nuklir AS-Korut akan pecah.
"Mereka ingin menyelamatkan rezim mereka dan sekarang mereka memiliki senjata nuklir canggih yang dapat menghancurkan Semenanjung Korea dan Jepang, serta beberapa wilayah terpencil kami di Pasifik atau bahkan mungkin daratan kami," terang Carter.
Baca Juga
Menurut salah seorang akademisi di University of Georgia, Presiden ke-39 AS itu telah mengindikasikan kesediaannya untuk menjadi juru damai dengan Korut sejak bulan lalu.
Trump selama ini telah menekan China untuk membantu mengendalikan Pyongyang. Namun Carter berpendapat beda.
"Kita sangat melebih-lebihkan pengaruh China atas Korut. Terutama atas Kim Jong-un. Pemimpin Korut, setahu saya, tidak pernah ke China. Dan mereka tidak punya hubungan. Kim Jong-il (pemimpin Korut sebelumnya) pernah ke China dan sangat dekat dengan mereka".
Dalam kesempatan yang sama, Carter ditanya apakah Trump bertanggung jawab atas citra AS yang memburuk di mata dunia.
"Mungkin ia telah meningkatkannya (citra buruk tersebut). Namun saya rasa itu sudah ada sebelum Trump. AS telah menjadi karakter dominan di seluruh dunia dan sekarang kita tidak lagi. Rusia kembali (ke posisi semula), sementara India dan China maju ke depan," ujar Carter.