Liputan6.com, Beirut - Sebuah foto bayi di pinggiran timur Damaskus yang mati akibat kelaparan, belakangan tengah menjadi sorotan dunia terkait krisis kemanusiaan akibat perang saudara Suriah.
Dalam foto yang beredar, terlihat kondisinya terlihat sangat mengkhawatirkan. Tubuhnya hanya tulang yang berbalut kulit. Menangis pun sepertinya ia tak sanggup.
Baca Juga
Gambar bayi bernama Sahar Dofdaa itu menguak bagaimana kondisi sebenarnya di wilayah kelahirannya. Saking parahnya, bayi berumur satu bulan yang beratnya kurang dari dua kilogram itu meninggal pada hari Sabtu 21 Oktober 2017.
Advertisement
Potret yang menyelipkan kisah pilu di baliknya itu diterbitkan Senin 23 Oktober lalu oleh Agence France-Presse (AFP).
Seperti dalam pemberitaan yang dikutip dari The Nation, Kamis (25/10/2017), bocah malang itu dinyatakan meninggal karena gizi buruk. Berdasarkan laporan AFP, sang ibu juga menderita kondisi serupa dengan buah hatinya.
Keluarga tersebut tinggal di Hamouriya, salah satu lingkungan di pinggiran kota Damaskus yang dikenal sebagai Ghouta Timur. Di wilayah itu, lebih dari 350.000 orang berada dalam kondisi kesehatan buruk.
"Ibunya tak bisa menyusui sang bayi karena tak mampu berdiri sendiri," kata Siraj, seorang pelajar berusia 21 tahun yang tinggal di Ghouta Timur.
"Ada kebutuhan mendesak akan susu anak-anak. Para ibu tak makan karena mereka menyimpannya untuk anak-anak. Sementara yang lain tak dapat menemukan apa pun untuk dimakan sendiri atau untuk anak-anak mereka."
Pengepungan
Pemberontak dan warga sipil di Ghouta Timur sebagian besar telah dikepung oleh pemerintah Suriah sejak tahun 2012, namun penduduk mengatakan bahwa wilayah tersebut telah dalam pengepungan secara intensif setelah pasukan pemerintah melancarkan serangan di daerah sekitar Qaboun dan Barzeh pada April lalu.
Kondisi tersebut mengakibatkan terowongan yang digunakan untuk membawa persediaan untuk hidup ke Ghouta Timur terputus.
Satu-satunya jalur penyeberangan darat utama antara daerah yang dikuasai pemerintah dan Ghouta Timur juga ditutup pada bulan April.
Warga menyalahkan pemerintah atas krisis kemanusiaan, namun juga kelompok pemberontak dan pedagang.
"Ghouta menolak semua persediaan hidup yang ada. Memang benar Anda bisa menemukan segalanya, tapi harganya diluar ekspektasi, "kata Siraj.
"Kadang saya menunggu empat jam untuk mendapatkan satu pak roti, dan kami membayar 1.500 pound Suriah (Dh44) untuk setiap paket," katanya kepada The National.
"Penghasilan seorang pekerja di Ghouta adalah 1.100 pound Suriah sehari. Jadi, jika Anda memiliki empat atau lima anak, Anda bisa memberi mereka makan lebih dari sekedar roti."
Kelaparan
Seorang aktivis politik lokal memperkirakan bahwa 70 persen penduduk Ghouta Timur menganggur.
Pengepungan di Ghouta Timur bukanlah contoh pertama penyebab malnutrisi parah dan kelaparan dalam perang sipil enam tahun Suriah. Di mana baik pasukan pemerintah maupun kelompok pemberontak dituduh menggunakan taktik pengepungan yang menyebabkan malnutrisi dan kelaparan parah.
"Ini terjadi ketika penduduk bergantung pada bantuan," kata Ingy Sedky, juru bicara Komite Palang Merah Internasional di Suriah. "Terakhir kali kami sampai di daerah itu adalah bulan September."
Sedky mengatakan pengiriman bantuan tersebut dimaksudkan untuk menyediakan makanan bagi 25.000 orang selama satu bulan.
"Itu pasti tak cukup, dan karena konvoi ke Ghouta Timur belum teratur akibat situasi di sana, kondisi anak-anak pun memburuk," kata Sedky.
Kantor Urusan Kemanusiaan PBB memperkirakan bahwa pada bulan September, ada sekitar 420.000 orang Suriah yang tinggal di 10 wilayah yang terkepung.
Institut Suriah yang berbasis di Washington merilis laporan triwulanan yang merinci pengepungan di negara tersebut. Mereka mengeluarkan jumlah warga yang berada di area kepungan mendekati satu juta. Dan jumlah komunitas yang dikepung ada 34.
Kedua kelompok tersebut sering kali tidak sepaham saat menilai tingkat keparahan dalam suatu wilayah. Di mana PBB sering menggunakan istilah "sulit dijangkau" dan bukannya "dikepung".
Advertisement