Liputan6.com, Melbourne - Alexander Soeriyadi adalah ilmuwan asal Indonesia yang kini bekerja di University of New South Wales (UNSW) di Sydney di bidang Kimia. Bersama dua sejawat seniornya, Professor Justin Gooding dan Dr Parisa Khiabani, ia baru-baru ini menjadi finalis ajang penelitian bergengsi di bidang sains di Australia bernama Eureka Prize.
Tim dari UNSW ini merupakan salah satu dari 15 finalis yang masuk dalam Eureka Prize, di mana pemenangnya berbagi hadiah keseluruhan yang berjumlah 150 ribu dolar Australia atau sekitar Rp 1,5 miliar.
Baca Juga
"Proyek kami yang berhasil masuk sebagai finalis di Eureka Prize berjudul 'Smart Sunsensor'. dimulai tahun 2013-2014," kata Alexander kepada wartawan ABC Australia Plus, Sastra Wijaya, yang dikutip Liputan6.com, Kamis (25/10/2017).
Advertisement
"Saat itu supervisor postdoctoral saya, Prof Gooding memiliki ide untuk membuat sensor yang bisa dilekatkan di tubuh, yang akan bisa memberikan radiasi sinar matahari. Di negeri seperti Australia, mengetahui radiasi sinar matahari penting sekali karena kasus kanker kulit cukup tinggi dan indeks ultraviolet (UV) yang sangat tinggi terutama di musim panas."
Dari ide itu, Alexander mengaku membuat konsep dan teknologinya yang akhirnya menjadi prototipe yang siap untuk diujicobakan.
"Dr Parisa Khiabani bergabung dengan tim kami di tengah perjalanan proyek ini. Pada 2016, proyek ini sukes dengan penerbitan penelitian di jurnal dan hak paten."
Walau tak menang, penelitian mereka terus dilanjutkan.
"Proyek ini sekarang sudah dalam tahap proses paten di UNSW. Kami sudah memberikan lisensi ke perusahaan yang akan menjadikannya produk komersial. Target kami adalah bahwa produk ini akan tersedia di pasar 2-3 tahun ke depan."
"Jadi sensor ini akan berbentuk seperti stiker, dan bisa ditempelkan di tubuh pemakai untuk mengecek sinar matahari ketika berada di luar ruangan," ucap Alexander.
"Sensor ini akan berubah menjadi bila terkena sinar matahari dalam kadar tinggi, sehingga pemakainya bisa mengetahui apakah dia harus melindungi tubuhnya dengan krim pelindungi matahari atau tidak."
Alexander menuturkan, ia juga mendapatkan dana untuk melakukan penelitian sendiri.
"Untuk saat ini dan masa depan, saya memfokuskan penelitian pada penggunaan bahan alami dan sumber daya yang bisa kita gunakan dan bermanfaat bagi orang banyak di bidang pertanian dan kesehatan."
"Dua bidang ini adalah bidang yang dekat dengan hati saya, dan merupakan pertalian yang sangat bagus antara Australia dan Indonesia. Saya ingin belajar meniru perusahaan-perusahaan IT yang mana awal dari perusahaan mereka biasa berawal dari 'garasi'."
"Saya ingin penelitian yang saya dilakukan di 'garasi' dengan proses yang tak rumit (Garage Innovation), tapi bisa menghasilkan produk yang mumpuni. Tujuannya adalah agar hasil penemuannya mudah dikomersialisasikan."
'Karier' Ilmuwan di Australia
Alexander Soeriyadi adalah pria kelahiran Jakarta. Ia menghabiskan masa SD nya di Sekolah Bunda Hati Kudus, dan melanjutkan pendidikan SMP serta SMA di Santa Laurensia Serpong, Tangerang.
"Ibu saya dulu adalah seorang bankir, tapi sekarang menjadi ibu rumah tangga. Saya memiliki dua adik yang keduanya juga sekarang tinggal di Sydney," tutur Alexander.
"Salah adik saya sedang menjadi peneliti postdoctoral di bidang Photovoltaic Engineering di UNSW dan satu lagi sedang menyelesaikan pendidikan Phd di bidang Biotechnology and Biomolecular Science juga di UNSW," imbuhnya.
Ia sendiri menyelesaikan pendidikan S1 di UNSW, dan PhD di tempat yang sama di bidang Kimia. Alexander lalu memutuskan untuk bekerja di Australia.
"Saya S1 dan S3 di Australia. Sewaktu S3 saya juga pernah mahasiswa pertukaran PhD di Warwick University di Inggris. Saya memutuskan untuk bekerja di Australia karena merasa UNSW adalah tempat yang cocok bagi saya, dan ingin meningkatkan keterampiilan saya sebagai inovator. Saya juga sangat cocok tinggal di Sydney."
Setelah kerja di Australia, Alexander jarang pulang ke Tanah Air. Kendati demikian, ia tetap menjalin hubungan dengan Indonesia, dari sisi personal maupun bagian dari kehiduapn akademis.
"Dari kehidupan akademis saya bekerja sama dengan tim dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di bidang material chitosan untuk kegunaan di bidang pertanian. Saya juga bekerja sama dengan Mochtar Riady Institute (MRIN) di Jakarta, mengembangkan senyawa untuk mengobati luka pada pasien diabetes."
"Saya juga berhubungan erat baik pribadi maupun profesional dengan Salim Agro untuk mengembangkan produk-produk pertanian (input) yang inovatif, untuk meningkatkan hasil dari tanaman pangan dan menyejahterahkan petani di Indonesia."
"Saya juga sangat bersyukur bahwa UNSW memiliki fokus terhadap Indonesia."
Akhir September lalu, UNSW baru saja menjalankan Indonesian Research Roadshow kedua ke ITB Bandung, Unpad Bandung, dan MRIN dan Universitas Pelita Harapan Jakarta untuk meningkatkan kerja sama penelitian di Indonesia.
Saat ditanya apakah suatu saat Alexander berpikir untuk kembali ke Indonesia atau malah ke tempat lain, seperti Eropa atau Amerika Serikat, ia menjawab, "Saya sudah pernah tinggal di Jerman (Eropa) sebagai peneliti postdoctoral di Karlsruhe Institute of Technology (KIT). Germany."
"Saya bangga sebagai orang Indonesia dan juga bangga sebagai orang yang tinggal di Australia sekarang. Saya merasa bahwa Jakarta dan Sydney sekarang adalah rumah saya."
"Saat ini saya cukup sering melakukan perjalanan ke Indonesia dan harapan saya adalah bahwa hubungan Australia-Indonesia akan semakin erat. Karena kita bertetangga dan keduanya adalah negara yang besar dan banyak sekali potensi kerja sama baik akademik, industri dan ekonomi."
Ada pepatah bahasa Tiongkok yang berbunyi "If the lips is gone, the teeth is cold"Â (Bila tidak ada bibir, maka gigi akan kedinginan). Ini artinya adalah bahwa bibir dan gigi adalah dua hal yang tidak terpisahkan dan membutuhkan satu sama lain.
"Saya merasa Australia-Indonesia seperti itu."
Perbaikan
Ketika ditanya hal yang patut diperbaiki di Indonesia untuk bisa menarik warga Indonesia yang sekarang bekerja di luar negeri kembali pulang ke Tanah Air, Alexander mengatakan "Banyak orang mungkin bilang yang perlu diperbaiki adalah insentif keuangan".
"Tapi menurut saya ini bukan yang utama. Banyak orang yang terutama sudah berpendidikan tinggi merasa tidak dihargai atau tidak bisa berkarya secara maksimal di Indonesia."
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi penghalang.
"Pertama, birokrasi: Terlalu sering peraturan di Indonesia sangat menjelimet dan berliku-liku dan dengan adanya banyak korupsi yang membuat orang susah bekerja dengan baik. Presiden Jokowi pernah mengatakan hal itu. Yang kedua adalah kondisi sosial politik yang stabil."
"Tapi di lain pihak, juga banyak hal yang menarik warga Indonesia untuk pulang. Bagaimanapun Indonesia adalah Tanah Air saya."
"Apa pun yang sudah saya capai tidak terlepas dari pelajaran dan pengalaman (baik atau buruk) selama saya tumbuh di Indonesia. Terutama dengan adanya presiden Jokowi yang bagi saya dan saya yakin bagi banyak orang adalah inspirasi untuk kerja dan kerja dan terus bekerja untuk kebaikan kita semua."
Advertisement