Sukses

Robot Wanita Kewarganegaraan Arab Saudi Ini Tuai Kontroversi

Oleh berbagai pihak, Sophia, dianggap memiliki lebih banyak hak dibanding kaum perempuan di Arab Saudi.

Liputan6.com, Riyadh - Kehadiran sebuah robot memicu kontroversi di Arab Saudi. Pasalnya, robot yang diberi nama Sophia tersebut memiliki hak-hak yang lebih banyak dibanding kaum perempuan di negara itu.

Seperti dikutip dari Independent pada Minggu (29/10/2017), robot Sophia diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang bermarkas di Hong Kong. Robot itu muncul perdana di sebuah konferensi teknologi di Riyadh.

Sophia dapat tampil sendiri tanpa seizin wali laki-laki dan robot itu tidak menggunakan penutup kepala atau pakaian yang sama seperti yang dikenakan wanita Saudi. Hal inilah yang banyak diperbincangkan warganet di ranah Twitter.

"Sophia, robot pertama yang memiliki kewarganegaraan di Arab Saudi, punya hak yang jauh lebih banyak dibanding kamu perempuan di sana...," tulis pemilik akun @EApples7.

Sementara itu, seorang pengguna Twitter lainnya mentwit, "Saya penasaran apakah robot Sophia bisa meninggalkan Arab Saudi tanpa persetujuan wali! Mengingat ia merupakan warga Saudi resmi."

Di bawah sistem perwalian Arab Saudi, setiap wanita harus memiliki wali baik itu ayah, suami atau saudara. Wali memiliki wewenang untuk membuat serangkaian keputusan penting atas nama wanita.

Kaum hawa di Arab Saudi membutuhkan izin wali untuk menikah, mengajukan paspor, bepergian ke luar rumah, ke luar negeri atau bahkan belajar ke luar negeri dengan beasiswa pemerintah.

Keberadaan Sophia sendiri merupakan bagian untuk mendorong investasi Saudi ke dalam industri kecerdasan buatan.

Dalam tampilan perdananya, Sophia mengatakan, "Saya sangat tersanjung dan bangga akan perbedaan yang unik ini. Menjadi robot pertama yang menyandang kewarganegaraan adalah sebuah peristiwa bersejarah".

Bulan lalu, Arab Saudi membuat pengumuman bersejarah dengan mengizinkan kaum perempuan di negara itu untuk menyetir. Langkah ini bagian dari rencana reformasi negara itu yang digagas oleh Putra Mahkota Pangeran Mohamed bin Salman

Menurut Freedom House, sebuah pengawas independen, Saudi menduduki peringkat ke-10 sebagai negara dengan kebebasan sipil dan hak politik terburuk.