Liputan6.com, St. Louis - Para ilmuwan menduga telah mengungkapkan penyebab mendasar kondisi autisme. Yang jelas, penyebabnya bukanlah vaksin seperti yang telah lama digadang-gadang sejumlah pihak.
Menurut sebuah penelitian terkini, autisme mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya koneksi otak yang dikenal sebagai sinaps (synapse).
Seperti dikutip dari IFL Science pada Rabu (8/11/2017), penulis senior penelitian Azad Bonni menjelaskan melalui pernyataan, "Peningkatan jumlah sinaps menciptakan miskomunikasi di antara neuron-neuron dalam otak yang sedang bertumbuh dan berkorelasi dengan gangguan belajar, walaupun kami belum mengetahui caranya."
Advertisement
Baca Juga
Bonni adalah juga kepala di Department of Neuroscience di Washington University School of Medicine di St. Louis.
Gangguan yang secara resmi disebut dengan autism spectrum disorder (ASD) itu adalah kondisi lazim pada perkembangan otak dan berdampak kepada 1 di antara 68 orang di Amerika Serikat (AS).
Pengertian secara umum menduga adanya aspek genetik untuk ASD yang biasanya muncul dalam keluarga-keluarga, walaupun pemicu-pemicu lingkungan hidup mungkin juga memiliki peranan.
Ada beberapa gen yang telah dikaitkan kepada orang-orang dengan autisme. Enam di antaranya disebut dengan ubiquitin ligase yang bertugas melekatkan ubiquitin – suatu penanda molekuler – kepada protein.
Bayangkan gen-gen itu seperti manajer yang memberi perintah kepada para bawahan (yakni keseluruhan sel) tentang caranya menangani protein-protein yang telah ditandai. Apakah protein-protein itu harus dibuang atau dibawa ke bagian lain dalam sel?
Para pakar menduga bahwa individu dengan autisme memiliki mutasi gen yang menghalangi salah satu ubiquitin ligase mereka bekerja secara benar.
Untuk mencari tahu caranya dan alasan mengapa bisa demikian, para ilmuwan di Washington University mengeluarkan suatu gen ubiquitin RNF8 dalam neuron di cerebellum, yakni daerah otak yang terdampak oleh autisme. Percobaan ini dilakukan pada beberapa tikus.
Tikus-tikus yang kehilangan gen RNF8 itu mengembangkan sinaps secara berlebihan yang akhirnya berdampak kepada kemampuan tikus-tikus untuk belajar.
Tikus-tikus tadi memiliki 50 persen lebih banyak sinaps dibandingkan dengan tikus-tikus lain dalam percobaan yang masih memiliki RNF8.
Para peneliti mengukur sinyal listrik dalam neuron-neuron dan mendapati bahwa sinyalnya dua kali lebih kuat dibandingkan dengan sinyal yang ada pada sel yang berfungsi normal.
Menuju Penanganan Autisme
ASD berdampak pada bahasa, perhatian, dan gerakan. Semua itu memerlukan peran penting cerebellum.
Untuk mengamati apakah tikus-tikus yang diuji memiliki ketrampilan motorik yang lebih rendah – keadaan yang lazim terdapat pada orang dengan autisme – para peneliti melatih tikus-tikus untuk mengkaitkan hembusan udara pada mata dengan kedipan lampu.
Satu minggu kemudian, kelompok kendali (tikus dengan RNF8 tetap utuh) menghindari iritasi yang disebabkan oleh hembusan udara dengan cara menutup mata hingga 75 persen kejadian.
Sementara itu, kelompok tikus yang tanpa RNF8 menutup mata untuk menghindari hembusan dalam sepertiga kejadian saja.
Para peneliti mewanti-wanti bahwa seekor tikus yang tidak menutup mata setelah dilatih tidak terlalu serupa halnya dengan seorang manusia dengan autisme. Apalagi, sambungan-sambungan dalam otak autistik berbeda-beda pada setiap individu.
Namun demikian, hal itu mengungkapkan kaitan penting antara sinaps dan perilaku sehingga nantinya bisa membantu dalam penanganan autisme.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement