Sukses

Duka Sang Ayah dan Misteri Kematian Pangeran Arab dalam Heli Maut

Kematian Pangeran Mansour terjadi di tengah kisruh politik dan keamanan di dalam negeri Arab Saudi.

Liputan6.com, Riyadh - Ayah Pangeran Saudi Mansour bin Murqin tak bisa menutup rasa dukanya. Wajahnya sedih, dan sesekali mengusap air mata

Sang anak kesayangan, tewas bersama tujuh pejabat pemerintah saat melakukan tugasnya sebagai Wakil Gubernur Negara Bagian Asir.

Kematian sang pangeran terjadi sehari setelah rudal Yaman nyaris menghancurkan Riyadh. Dan pada saat nyaris bersamaan, tengah terjadi penangkapan besar-besaran terhadap sejumlah pangeran Arab.

Dikutip dari Al-Arabiya pada Kamis (9/11/2017), sang ayah, Pangeran Muqrin bin Abdulaziz tampak dalam upacara pemakaman Pangeran Mansour. Ia terlihat membawa keranda berisi jasad buah hatinya. Wajahnya murung dan bahunya lunglai.

Pangeran Muqrin bin Abdulaziz, mantan putra mahkota sekaligus ayah dari almarhum Pangeran Mansour bin Murqin yang tewas dalam heli maut (Al Arabiya)

Sementara Kerajaan Arab Saudi terus melanjutkan suksesi untuk memperkukuh taring Sang Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan menyingkirkan sejumlah pangeran.

Pangeran Muqrin adalah ayah dari 14 anak, termasuk almarhum Pangeran Mansour. Dia pernah menjadi Putra Mahkota Arab Saudi dan Wakil Perdana Menteri pada 13 Januari 2015.

Namun, masa jabatannya hanya berlangsung hampir tiga bulan dan dia singkirkan dari jabatannya sebagai Putra Mahkota pada tanggal 29 April 2015.

Murqin disingkirkan dari posisi Putra Mahkota oleh kakak tirinya, yang tak lain tak bukan adalah Raja Salman bin Abdulazis. 

Pangeran Muqrin bin Abdulaziz, mantan putra mahkota sekaligus ayah dari almarhum Pangeran Mansour bin Murqin yang tewas dalam heli maut (Al Arabiya)

Posisi putra mahkota belakangan diganti oleh Pangeran Mohammed bin Nayef, dedengkot anti-terorisme sekaligus Menteri Dalam Negeri Arab Saudi.

Namun, pada bulan Juni 2017, Raja Salman kembali berubah pikiran. Ia menyingkirkan Pangeran Mohamed bin Nayef demi anak lelakinya yang berusia 32 tahun.

Kini, putra mahkota adalah darah dagingnya sendiri, Pangeran Mohammed bin Salman.

Seluruh aksi singkir menyingkir itu makin diperkuat dengan pemecatan 11 pangeran dan menteri lainnya.

Dan kematian Pangeran Mansour menambah kemelut dalam politik kerajaan Arab Saudi.

 

2 dari 2 halaman

Penangkapan Berdalih Melawan Korupsi?

Penangkapan besar-besaran dilakukan badan anyar yang dipimpin Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Mohammed bin Salman, Sabtu malam, 4 November 2017. Sekali ciduk, 11 pangeran, empat menteri yang masih menjabat, dan belasan eks anggota kabinet pemerintahan terjaring.

Pemberantasan korupsi jadi alasan penangkapan para elite. Namun, sejumlah analis beranggapan, itu adalah dalih menuju takhta.

"Pangeran Bin Salman mungkin berdalih ia tengah melawan korupsi. Namun, penangkapan terhadap menteri, eks anggota kabinet dan para pangeran senior akan mengejutkan para pemerhati isu Arab, yang akan menganggap langkah itu sebagai sebuah konsolidasi kekuasaan," kata David Ignatius, pemerhati politik asal Amerika Serikat sekaligus kolumnis untuk The Washington Post.

Salah satu figur ternama yang ditangkap adalah Pangeran Alwaleed Bin Talal, cucu pendiri Saudi, Abdulaziz al-Saud, dan keponakan raja yang menjabat saat ini, Salman Bin Abdulaziz al-Saud.

Dengan bendera King Holding Company, Alwaleed, yang pernah masuk dalam daftar orang terkaya dunia versi Forbes itu, diketahui memiliki investasi di sejumlah perusahaan ternama asal Amerika Serikat. Sebut saja Twitter, Apple, News Corporation, Citigroup, hotel Four Seasons, Ratona Group, dan perusahaan layanan berbagi transportasi Lyft.

Ada satu nama lagi yang penangkapannya mengejutkan. Ia adalah Pangeran Miteb bin Abdullah, Kepala Garda Nasional Arab Saudi.

Ayah Pangeran Miteb adalah almarhum Raja Abdullah, yang juga pernah memimpin Garda Nasional dan mengubahnya menjadi pasukan yang kuat dan bergengsi.

Tugas utama Garda Nasional adalah melindungi Dinasti Al Saud yang berkuasa, mengamankan tempat-tempat suci yang penting di Mekah dan Madinah, juga ladang-ladang minyak yang membuat Arab Saudi dijuluki negara petrodolar.

Pangeran Miteb pernah dianggap sebagai pesaing takhta. Pelengserannya sebagai pimpinan Garda Nasional bahkan sudah dianggap sebagai upaya menyingkirkan rival terberat sang putra mahkota.

Penggulingan Pangeran Miteb dilakukan hanya tiga bulan setelah Pangeran Mohammed bin Nayef disingkirkan dari garis suksesi sekaligus dari jabatannya sebagai menteri dalam negeri. Sebelumnya, dialah yang menyandang gelar putra mahkota.

Usai dua pangeran tersingkir, kendali bidang keamanan kini ada di tangan Putra Mahkota Mohammed bin Salman.

Hanya dalam dua tahun, Mohammed bin Salman menjelma jadi sosok sentral. Tak hanya berstatus putra mahkota, ia juga menjabat sebagai wakil perdana menteri--di bawah sang ayah yang juga menjabat sebagai PM--dan menteri pertahanan. Semua posisi bergengsi itu didapatnya di usia muda, yakni 32 tahun.

Seperti dikutip dari The New York Times, kekuasaannya yang menggurita tentu saja memicu resistensi di dalam maupun luar keluarga kerajaan. Pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota bahkan tak disetujui secara bulat oleh para bangsawan. Ia melewati sekitar 36 pangeran lain yang dianggap mampu memerintah Arab Saudi.

Dalam sistem suksesi Arab Saudi, kekuasaan diberikan secara bergiliran antara anak-anak dan keturunan pendiri kerajaan, Raja Abdulaziz atau Ibn Saud sejak kematiannya pada 1953.

Itu mengapa, pemilihan raja Arab Saudi dilakukan dengan mengedepankan primus inter pares alias musyawarah daripada monarki absolut.

Namun, sejarah mencatat, dua raja dilengserkan secara paksa. Raja Saud bin Abdulaziz al Saud digulingkan pada 1964. Sementara, Raja Faisal bin Abdul Aziz dibunuh keponakannya sendiri. Itu artinya, sistem suksesi yang mengedepankan stabilitas "boleh" dilanggar.

Sejumlah dugaan menyebut, Raja Salman yang kini berusia 81 tahun bisa jadi mundur dalam waktu dekat, dengan alasan kesehatan. Atau, ia bisa saja mangkat.

Manuver Mohammed bin Salman diduga untuk memuluskan jalannya menuju takhta. Bisa jadi, ia ingin menyingkirkan bibit-bibit perlawanan. "Sang pangeran muda hendak menggenggam kekuatan eksekutif itu secara agresif demi mendorong agendanya," ucap David Ignatius.