Liputan6.com, Riyadh - Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud berusia sepuh, 81 tahun. Sementara, sang putra mahkota, Mohammed bin Salman, meski baru 32 tahun, sudah menempati posisi penting di negeri 'petrodolar'.
Upaya penangkapan besar-besaran atas nama pemberantasan korupsi terhadap 201 orang, termasuk 11 pangeran, menteri, dan pebisnis memicu spekulasi bahwa sang putra mahkota sedang mengonsolidasikan kekuatannya.
Putra kesayangan Raja Salman itu diduga sedang menyingkirkan mereka yang berpotensi jadi rival, demi memuluskan jalannya menuju takhta.
Advertisement
Baca Juga
Apalagi, yang ditangkap adalah mereka yang menentang pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota dalam sebuah sidang di Dewan Kesetiaan (Allegiance Council), sebuah lembaga yang didirikan Raja Abdullah, yang bertanggung jawab menentukan suksesi kekuasaan pada masa depan.
Sebelumnya, status putra mahkota dipegang Pangeran Mohammed bin Nayef.
Belakangan, muncul dugaan bahwa Raja Salman berencana untuk mundur dan menyerahkan takhta untuk sang putra mahkota. Namun, informasi itu dibantah keras pihak Arab Saudi.
"Tak ada sama sekali peluang bagi raja untuk mundur," kata seorang pejabat senior Arab Saudi yang tak mau disebut namanya kepada Bloomberg, seperti dikutip dari Voice of America, Senin (13/11/2017).
Dia mengatakan, tak ada preseden penguasa Arab Saudi mundur saat masih hidup. Sumber tersebut juga menyebut, Raja Salman saat ini dalam kondisi kesehatan fisik dan mental yang "sempurna".
Sejarah mencatat, Raja Saud bin Abdulaziz mengundurkan diri demi memberi jalan pada saudara sekaligus pewaris takhta, Raja Faisal, pada pertengahan 1960-an, setelah mendapat tekanan dari anggota keluarga yang berkuasa.
Faisal, yang kemudian menjadi raja, kala itu secara faktual sudah memiliki kewenangan besar untuk mengatasi krisis ekonomi yang mendera Arab Saudi.
Spekulasi mundurnya Raja Salman mengemuka pekan lalu setelah media Iran, Press TV, melaporkan putra mahkota akan segera mengambil alih singgasana.
Raja Arab Saudi dikabarkan akan mengambil keputusan dalam waktu dua malam.
Â
Mengarah ke Monarki Absolut?
Pemilihan raja Arab Saudi selama ini dilakukan dengan mengedepankan primus inter pares alias musyawarah di Dewan Kesetiaan daripada monarki absolut.
Pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai putra mahkota telah menyingkirkan 36 pangeran senior lain dan menimbulkan pertentangan di internal para bangsawan.
David Des Roches, pengajar National Defense University di Washington mengatakan, pihak Saudi telah membantah isu pengunduran diri Raja Salman.
"Namun, pengamat luar berpendapat, Raja Salman akan mundur ketika putra mahkota sudah dalam posisi aman untuk memimpin," kata dia.
Des Roches menambahkan, orang-orang skeptis pada Raja Salman, juga dengan Arab Saudi, dan menganggap pengunduran diri tersebut adalah untuk mem-bypass atau memotong jalur Dewan Kesetiaan yang terdiri atas para pangeran senior dan memastikan posisi putra mahkota.
Meski demikian, ia berpendapat, karena sejumlah rival potensial putra mahkota telah ditahan dan disingkirkan, pengunduran diri Raja Salman belum dibutuhkan.
"Saat ini, Mohammed bin Salman telah memegang kendali di semua tingkatan kekuasaan," kata dia.
"Ia bisa menunggu ayahnya mangkat untuk mengambil alih negara, baik dalam hal status hingga praktik," kata Des Roches.
Ia menyebut, kekhawatiran yang kini muncul adalah, pergeseran "Saudi Arabia" ke "Salmani Arabia". "Akan ada banyak pangeran yang menggunakan kekuasaan--dan mendapatkan uang dari sana--akan dipotong," kata Des Roches.
"Alih-alih monarki konstitusional--setidaknya bagi para pangeran, bukan rakyat kebanyakan. Kerajaan Arab Saudi akan jadi monarki absolut."
Penahanan para pangeran dan pebisnis dilakukan bertepatan dengan keputusan Arab Saudi meningkatkan retorika terhadap Hizbullah dan Iran yang dianggap sebagai patron. Keduanya dianggap ikut campur dalam urusan di kawasan Arab, juga mendukung pemberontakan Houthi di Yaman.
Koalisi yang dipimpin Arab Saudi terus melancarkan perang melawan Houthi sejak Maret 2015.
Arab Saudi bahkan menuduh Iran melakukan "aksi perang" ketika pemberontak Houthi menembakkan rudal balistik ke arah Bandara Internasional di Riyadh.
Advertisement