Liputan6.com, Riyadh - Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dikabarkan akan turun takhta dan menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Pangeran Mohammed bin Salman, pada pekan depan.
Hal tersebut disampaikan seorang sumber yang dekat dengan keluarga kerajaan kepada Daily Mail Online.
Sumber tersebut mengatakan bahwa Raja Salman akan terus melanjutkan posisinya hanya sebagai tokoh seremonial. Sang raja akan menyerahkan kepemimpinan resmi Arab Saudi kepada anaknya--sering dijuluki sebagai MBS atau Mohammed bin Salman.
Advertisement
"Kecuali sesuatu yang dramatis terjadi, Raja Salman akan mengumumkan penunjukan MBS sebagai Raja Arab Saudi pekan depan," ujar sumber tersebut seperti dikutip dari Daily Mail, Jumat (17/11/2017).
"Raja Salman akan berperan seperti Ratu Inggris. Ia hanya akan memegang gelar 'Penjaga Dua Kota Suci'," ucap dia.
Baca Juga
Langkah tersebut dipandang sebagai bagian akhir Pangeran Mohammed dalam pengambilalihan kekuasaan. Sebelumnya, pria berusia 32 tahun itu telah memerintahkan penangkapan lebih dari 40 pangeran dan menteri pemerintah dalam sebuah penyelidikan korupsi.
Sumber dari level pejabat tinggi itu mengatakan, saat dinobatkan sebagai raja, Pangeran Mohammed akan mengalihkan fokusnya ke Iran, sebuah negara kaya minyak yang telah lama menjadi saingan Arab Saudi.
Sumber tersebut juga mengatakan, Pangeran Mohammed akan meminta bantuan militer Israel untuk menghancurkan Hizbullah, milisi Lebanon yang didukung Iran.
"MBS telah yakin bahwa ia harus menghancurkan Iran dan Hizbullah. Bertentangan dengan nasihat yang diberikan oleh para tetua kerajaan, itulah sasaran MBS berikutnya. Karenanya penguasa Kuwait secara pribadi memanggilnya 'banteng yang sedang mengamuk'," ujar sumber tersebut.
"Rencana MBS adalah untuk menyulut api di Lebanon. Namun dia berharap untuk mengandalkan dukungan militer Israel. Ia telah menjanjikan Israel bantuan keuangan miliaran dolar jika mereka setuju."
"MBS tidak bisa menghadapi Hizbullah di Lebanon tanpa Israel. Rencana B adalah untuk memerangi Hizbullah di Suriah," jelas dia.
Â
Memanasnya Hubungan Arab Saudi dengan Lebanon dan Iran
Perdana Menteri Lebanon Saad al-Hariri mengumumkan pengunduran dirinya di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Hal itu disampaikan dalam sebuah siaran televisi pada 4 November 2017.
Melalui pernyataan tersebut, Hariri menuding Iran dan kelompok Hizbullah Lebanon telah menabur perselisihan di negara-negara Arab dan ia takut dirinya menjadi korban pembunuhan.
Namun, Presiden Lebanon Michel Aoun menyebut bahwa Hariri ditahan oleh Arab Saudi. Menurut dia, hal itu merupakan bagian dari tindakan agresi Saudi ke Lebanon.
Meningkatnya ketegangan juga tengah terjadi antara Arab Saudi dengan Iran. Hal itu terjadi setelah Pemerintah Saudi menuduh Iran berada di balik serangan rudal yang menargetkan Riyadh pada 4 November 2017.
Roket tersebut ditembakkan dari Yaman dan meluncur menuju Riyadh sebelum berhasil dicegat.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Jubair, mengatakan bahwa Iran bertanggung jawab atas hal tersebut. Mereka pun menyebut serangan tersebut sebagai "tindakan perang".
Namun, seorang juru bicara Pemerintah Iran menolak tuduhan itu dan menyebutnya bertentangan dengan kenyataan.
Sementara itu seorang cendekiawan di King Faisal Center for Research and Islamic Studies, Joseph A. Kechichian, mengatakan bahwa Pangeran Mohammed akan menantang siapa pun yang menantangnya.
"Pria muda ini, Pangeran Mohammed bin Salman, tak ingin menghindar dan pura-pura mati. Jika Anda menantangnya, ia akan merespons," ujar Kechichian.
Advertisement