Liputan6.com, Davao - Pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal RI Davao menyebut telah menangani polemik status kewarganegaraan suku Sangir dari Sulawesi Utara yang tinggal di gugus kepulauan di Filipina selatan. Penanganan polemik status kewarganegaraan itu telah dilakukan sejak awal 2016 lalu dan masih berlangsung hingga November 2017.
"Hingga tahun ini, ada sekitar 8.745 orang suku Sangir yang terdaftar menurut pendataan pemerintah Indonesia, Filipina, dan UNHCR (Komisi Urusan Pengungsi PBB). Dari total itu, sekitar 5.028 orang sudah disiapkan dokumen status kewarganegaraan (document ready) mereka," kata Konsuler Jendera RI di Davao, Berlian Napitulu saat dihubungi Liputan6.com, Senin (20/11/2017).
"Per bulan Mei 2017, dari 5.028 orang yang document ready, 2.425 orang sudah ditegaskan status kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia (clearly Indonesians)," tambahnya.
Advertisement
Konjen Berlian Napitulu memastikan, KJRI Davao akan memberikan "certificate of citizenship" kepada 2.425 orang suku Sangir-Indonesia yang berstatus sebagai clearly Indonesians tersebut.
"Kemarin waktu 17 Agustus lalu sudah memberikan secara simbolik kepada 10 orang. Untuk yang sisanya, kita masih proses untuk menyerahkan dokumennya kepada mereka. Kerja sama juga dengan UNHCR untuk menyebar dokumen tersebut," tambah sang Konjen.
Sementara itu, Berlian menambahkan, dari 5.028 orang yang sudah document ready, ada 2.012 orang yang statusnya sebagai clearly Filipino dan sekitar 274 individu yang dual citizen karena masih anak-anak.
"Yang 2.012 itu mereka akan jadi warga Filipina. Khusus yang 274 dual citizen itu, mereka akan diberikan hak istimewa berkewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun, di mana mereka akan memilih menjadi warga negara mana. Harus pilih salah satu, karena kedua negara (Indonesia dan Filipina) tidak mengakui dual citizenship by birth," tambah Berlian.
Sang Konjen melanjutkan, pemerintah Indonesia bersedia untuk menyediakan akomodasi bagi orang suku Sangir di Filipina selatan jika ingin kembali pulang ke Tanah Air. Kendati demikian, pemerintah RI tak akan memaksa mereka yang -- meski telah berstatus sebagai WNI -- tetap ingin tinggal di Filipina.
"Namun, ada syaratnya, mereka yang menetap tinggal di Filipina, ya silakan urus visa, paspor, dan izin tinggal. Tapi, kami tidak pernah memaksa mereka untuk pulang. Kebebasan untuk memilih ada di mereka masing-masing," paparnya.
Status Kewarganegaraan yang Sempat Jadi Polemik
Pulau Balut dan Pulau Sarangani adalah dua pulau besar yang terletak di Provinsi Davao Occidental, Filipina selatan. Menurut perhitungan UNHCR yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan Filipina pada 2016, ada sekitar 8.745 orang suku Sangir yang tercatat sebagai keturunan Indonesia yang terkonsentrasi di kedua pulau itu.
Mereka yang hidup saat ini adalah generasi ketiga dan keempat keturunan Indonesia yang memiliki "nenek moyang" berasal dari gugus Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Demikian seperti dikutip Al Jazeera, Senin, 20 November 2017.
Salah satu kisah umum tentang pola migrasi suku Sangir ke Filipina selatan adalah ketika nenek moyang mereka yang berprofesi sebagai nelayan melihat Pulau Balut dan Pulau Sarangani. Seiring waktu, para nelayan itu membawa keluarga dan sanak saudara mereka dari Sangir ke dua pulau tersebut.
Pola migrasi itu terjadi jauh sebelum Filipina dan Indonesia mulai membangun perbatasan yang berdaulat di antara mereka. Seiring waktu, ketika legitimasi perbatasan kedua negara dicanangkan, mereka terpaksa menetap untuk menghindari proses hukum.
Akan tetapi, semua itu berujung pada kondisi mereka yang berstatus sebagai undocumented person di Filipina dan terancam tak memiliki kewarganegaraan (stateless person) pada beberapa tahun silam.
"Banyak yang bilang mereka stateless, tapi tidak otomatis juga mereka stateless. Terancam stateless memang, karena tidak ada dokumen. Tapi beberapa tahun kemudian, oleh pemerintah di sini, diberikan dokumen ACR (Alien Certificate Registration) untuk kejelasan status sementara," kata Konsuler Jendera RI di Davao, Berlian Napitulu saat dihubungi Liputan6.com, Senin, 20 November 2017.
"Tetapi itu (ACR) bukan dokumen resmi. Sehingga mereka jadi tidak punya pekerjaan tetap, dan tidak punya penghasilan tetap, masalahnya jadi banyak. Maka, kedua negara, bekerja sama dengan UNHCR, melakukan solution effort untuk isu itu," tambahnya.
Melalui kesepakatan itu, kedua negara dibantu UNHCR akhirnya mulai bertindak untuk menyelesaikan isu tersebut.
Seperti dikutip dari Al Jazeera, proyek tersebut itu sudah berlangsung sejak 2016 lalu dan masih berlangsung hingga tahun ini.
"Target kita baru 80 persen dari total 8.745 yang tercatat resmi," kata Berlian.
Tentang keterlibatan UNHCR, Berlian mengatakan, "UNHCR itu membantu dalam kapasitasnya mereka sebagai lembaga yang punya metode dan sistem yang lebih mumpuni. Mereka juga punya banyak resources. KJRI Davao kan sedikit personelnya, bagaimana mau jangkau semua. Filipina juga sedikit dan terbatas."
"Maka kita minta bantuan UNHCR yang punya pengalaman, metode, sistem, dan sudah terbiasa melakukan itu. Mereka mengerahkan enumerator ke desa dan kampung yang dihuni oleh Sangir-Indonesia."
Meski saat ini belum semua suku Sangir di Filipina selatan dapat terjangkau, Berlian menyatakan, "Tapi kita coba usahakan untuk jangkau mereka semua. Tapi yang jelas, usai kita melakukan tindakan ini, mereka yang statusnya terancam stateless, kini sudah tak lagi."
Advertisement