Liputan6.com, Kathmandu - Sebelas tahun setelah Nepal memulai perjalanannya menuju demokrasi dengan melucuti kekuasaan raja yang otoriter, 30 juta rakyat di negara itu akhirnya akan menggunakan suara mereka dalam pemilu provinsi dan parlemen.
Jika sebagian berharap bahwa pemilu yang akan digelar akhir pekan ini dapat mempercepat pembangunan daerah, maka sebagian lainnya justru khawatir bahwa pesta demokrasi ini akan memicu gelombang kekerasan baru di Nepal.
Kekhawatiran itu dianggap tak berlebihan. Pasalnya, dua tahun lalu, ketika negara di Himalaya itu mengadopsi konstitusi baru yang membaginya menjadi tujuh bagian, puluhan orang tewas dalam bentrokan etnis yang berebut wilayah dan hak.
Advertisement
Seperti dikutip dari abcnews.go.com pada Sabtu (25/11/2017), dalam pemilu kali ini, warga Nepal akan memilih anggota parlemen di tiap-tiap negara bagian. Selanjutnya, anggota parlemen dapat menamakan wilayah mereka, membuat rancangan undang-undang dan akhirnya memilih pemimpin.
Warga di wilayah utara Nepal akan memberikan suara mereka pada hari Minggu, sementara warga di wilayah selatan akan mendatangi bilik suara pada 7 Desember.
Meski diselimuti kekhawatiran, namun tak sedikit yang antusias dengan pelaksanaan pemilu, termasuk Bikash Lama. Ia seorang sopir taksi di Kathmandu, ibu kota Nepal. Pada hari Minggu, ia berencana untuk pulang ke rumahnya yang terletak di kaki Gunung Everest demi memberikan suaranya.
Baca Juga
"Sejauh ini, kami hanya bisa membawa sedikit orang ke pemerintahan. Dengan pembagian wilayah, kami akan memiliki perwakilan yang lebih besar," ujar Lama.
Jalan lambat Nepal menuju demokrasi dimulai pada 2006 ketika sekelompok orang memaksa raja meletakkan kekuasaannya. Dua tahun kemudian, negara tersebut secara resmi menghapuskan monarki yang telah berjalan selama berabad-abad.
Belakangan, Nepal memutuskan bahwa sistem federal akan memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh negeri.
"Kami menciptakan konstitusi selama bertahun-tahun penuh perjuangan, tapi itu tidak cukup," tutur Nabindra Raj Joshi, seorang pemimpin senior Nepali Congress, partai politik terbesar di negara itu. "Yang paling penting adalah bagian implementasi. Pemilu ini akan membentuk pemerintahan provinsi yang akan mengubah pencapaian kita ke kenyataan."
Prosesnya Tidak Akan Mudah
Editor surat kabar Himalayan Times, Prakash Rimal, mengatakan bahwa proses menuju demokrasi tidak akan mudah karena orang-orang telah terbiasa dengan struktur kekuasaan tunggal. Ia menjelaskan masih terdapat pertanyaan tentang bagaimana kelak majelis negara akan berfungsi dan apakah mereka akan dibiayai oleh pemerintah federal.
Di lain sisi, Rimal menerangkan bahwa pemilu juga akan membuka peluang bagi daerah sekaligus memicu tekanan dari pemerintah pusat.
"Pemilu ini sangat penting. Ini urgen sebagai tonggak sejarah dalam transisi menuju struktur federal," terang Rimal.
Suman Sah, seorang penduduk desa dari Nepal selatan yang berbatasan dengan India mengatakan bahwa sistem federal merupakan landasan demokrasi.
"Itu berhasil dipraktikkan di banyak negara maju dan akan bermanfaat bagi Nepal, yang memiliki begitu banyak etnis dan budaya," tutur Sah.
Pasca diadopsinya konstitusi baru pada 2015, kelompok etnis Madhesi mengadakan protes karena beranggapan wilayah yang mereka dapat tidak cukup. Selain itu, mereka mengaku mendapatkan diskriminasi.
Protes berujung kekerasan tersebut tidak hanya memicu puluhan orang tewas, namun juga memicu krisis bahan bakar dan obat-obatan karena para pemrotes memblokir perbatasan dengan India.
Para pemrotes akhirnya menyetujui pelaksanaan pemilu setelah beberapa amandemen diajukan ke konstitusi.
Tapi sekarang, warga Nepal dinilai bersiap menghadapi lebih banyak kekerasan. Empat orang tewas awal tahun ini dalam kekerasan saat pemilu digelar di desa.
Navaraj Dhakal, seorang pejabat Komisi Pemilihan Umum, mengatakan ada beberapa insiden dimana kandidat dan pendukung mereka diserang dalam kampanye. Ia menambahkan bahwa pemerintah federal dan pasukan keamanan memiliki rencana untuk memastikan pemungutan suara tetap damai.
Pemerintah telah mempekerjakan ribuan petugas polisi sementara yang akan menjaga tempat pemungutan suara di samping petugas polisi dan tentara reguler.
Advertisement