Sukses

Libya Tolak Tuduhan sebagai Negara Pendukung Perdagangan Manusia

Dubes Libya untuk RI menganggap tuduhan itu merupakan 'kampanye politik yang menyerang Libya'.

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Libya untuk Indonesia Sadegh Bensadegh menolak tuduhan dari berbagai pihak Barat yang menyebut negaranya sebagai pihak pendukung praktik perdagangan manusia.

Hal itu disampaikan oleh Dubes Bensadegh di Jakarta, Kamis, 30 November 2017.

Menurut sang dubes, tuduhan yang datang dari berbagai negara dan media Barat -- serta kekhawatiran PBB atas potensi kejahatan hak asasi manusia -- terkait tuduhan tersebut adalah tidak benar.

Bensadegh justru menganggap bahwa tuduhan itu merupakan "kampanye politik yang menyerang Libya dengan tuduhan yang tidak mendasar mengenai adanya perdagangan manusia".

"Kami menganggap, kemungkinan bahwa fenomena yang terjadi sebenarnya adalah penyelundupan manusia, bukan perdagangan manusia," kata Dubes Bensadegh di Jakarta, Kamis (30/11/2017).

"Transaksi uang seperti yang disebut-sebut dalam sejumlah media Barat sesungguhnya merupakan upaya tawar-menawar untuk biaya transportasi dan mobilitas penyelundupan manusia yang dikelola oleh kelompok organsisi kriminal lintas negara," tambahnya.

Bensadegh menambahkan, praktik penyelundupan itu merupakan dampak dari imigrasi, pengungsi, dan eksodus massal warga dari beragam negara di Afrika yang hendak keluar dari Benua Hitam menuju Eropa.

Libya sendiri termasuk dalam negara yang warganya melakukan eksodus massal selama beberapa tahun terakhir. Perpindahan warga besar-besaran itu dipicu oleh bara gejolak sosial-politik yang masih menyala usai Revolusi Libya 2011.

Kendati demikian, sang Dubes menyampaikan bahwa pemerintah interim Libya (Government of National Accord of Libya) telah memulai penyelidikan, yang dipimpin oleh Kementerian Negara untuk Urusan Imigran dan Pengungsi Libya.

"Otoritas Libya telah mengerahkan aparat yang kompeten untuk melakukan investigasi terkait tuduhan tersebut, berlandaskan pada hukum di Libya. Hasil investigasi akan dipaparkan kepada domestik dan internasional, dan akan dijadikan dasar untuk menghukum mereka yang terlibat," papar Bensadegh.

2 dari 2 halaman

Praktik Perdagangan Manusia di Libya

Imigran gelap asal Afrika yang diselamatkan oleh otoritas Italia usai terombang-ambing di dalam perahu di Laut Mediterania. Libya kerap digunakan sebagai titik tolak pertama para imigran untuk menyeberang ke Eropa (AP Photo)

Bulan lalu, media Amerika Serikat CNN melaporkan kisah investigatif tentang praktik dan sindikat perdagangan manusia di Libya yang melibatkan organisasi kriminal lintas negara. Kisah itu terinspirasi dari sebuah video dokumentasi tentang praktik lelang manusia di Libya.

Media itu melaporkan, manusia yang diperdagangkan yang tampil dalam video itu terindikasi menjadi budak belian. Manusia yang diperjualbelikan adalah beberapa pria Afrika dengan harga rata-rata berkisar US$ 800.

Ketika CNN mencoba mengonfirmasi video tersebut kepada otoritas Libya, seorang aparat mengatakan bahwa dirinya tak pernah menyaksikan praktik semacam itu di negaranya.

Kendati demikian, sang aparat mengakui bahwa ada praktik penyelundupan manusia yang dikelola sindikat kriminal lintas batas di Libya.

"Mereka (pelaku) mengisi satu kapal kecil dengan 100 orang imigran gelap untuk menyeberang ke Eropa. Pelaku tak peduli keselamatan orang-orang tersebut, yang penting mereka mendapat uang," papar Letnan Nazer Hazam yang berdinas untuk Anti-Illegal Immigration Agency di Tripoli kepada CNN.

Terlepas dari itu, Hasam berjanji bahwa otoritas akan menyelidiki dugaan praktik perdagangan manusia terindikasi perbudakkan seperti yang ditampilkan video yang diulas oleh CNN.

Libya, Gerbang ke Eropa

Setiap tahun, puluhan ribu orang dari beragam negara di Afrika melintasi perbatasan Libya, negara yang dipandang oleh para imigran Benua Hitam sebagai "gerbang awal menuju Eropa".

Para imigran itu kebanyakan merupakan pengungsi yang melarikan diri dari konflik atau krisis ekonomi di negara asalnya, seperti Eritream Ethiopia, Sudan Selatan, Niger, Algeria, dan bahkan dari dalam Libya sendiri.

Sebagian besar para imigran itu telah menjual semua yang mereka miliki untuk membiayai perjalanan melalui pantai Libya menuju pintu gerbang Eropa ke Mediterania.

Namun, sejak rute perlintasan itu diperketat oleh otoritas Libya, banyak di antara para imigran dan pengungsi itu terjerumus dalam sindikat jasa penyelundupan manusia.

Pemerintah Libya, hingga saat ini, mengklaim tengah mendalami, menyelidiki, dan mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas sindikat penyelundupan serta dugaan praktik perdagangan manusia tersebut.