Liputan6.com, Dhaka - Paus Fransiskus telah bertemu dengan pengungsi Rohingya di Bangladesh. Tak seperti saat bertemu pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, pria berusa 80 tahun itu menyebut nama etnis minoritas itu untuk pertama kalinya dalam kunjungannya ke Asia.
Paus Fransiskus mengucapkannya saat menerima 16 pengungsi Rohingya dalam pertemuan antar-agama pada Jumat, 1 Desember 2017.
"Hari ini kehadiran Tuhan ada di dalam diri warga Rohingya," ujar Paus Fransiskus, seperti dikutip dari BBC, Sabtu (2/12/2017).
Advertisement
Sementara itu, dalam sebuah pidato spontan, Paus membahas soal permintaan maaf.
"Atas nama semua orang yang telah menganiaya Anda, menyakiti Anda, saya meminta maaf," ujar Paus Fransiskus kepada para pengungsi.
"Saya meminta kelapangan hati untuk memberi kami pengampunan yang kami mohon," imbuh dia.
Baca Juga
Sebelumnya, Paus Fransiskus mendapat kritikan dari kelompok hak asasi manusia karena tak menggunakan istilah "Rohingya" selama berkunjung ke Myanmar. PBB telah menuduh militer negara tersebut melakukan pembersihan etnis terhadap warga Rohingya.
Pemerintah Myanmar menolak istilah Rohingya, dan menyebut komunitas itu sebagai "Bengali". Mereka mengatakan, warga Rohingya bermigrasi secara ilegal dari Bangladesh sehingga tidak terdaftar sebagai salah satu kelompok etnik di negara itu.
Diperkirakan, 620.000 warga Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak gelombang kekerasan pecah pada Agustus 2017.
Sekitar 3.000 pengungsi diperkirakan telah menyeberang dari Myanmar ke Cox's Bazaar di Bangladesh pada pekan lalu, menambah jumlah ratusan ribu warga Rohingya yang telah berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
Â
Bertemu Aung San Suu Kyi, Paus Fransiskus Tak Bahas Rohingya
Paus Fransiskus sama sekali tak menyebut penamaan kelompok etnis minoritas Rohingya dalam pidato publiknya, saat bertemu dan berbagi panggung dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, di Naypyidaw pada 28 November 2017.
Di samping tak menyebut penamaan "Rohingya", sang penampuk Takhta Suci Vatikan itu juga lebih memilih pernyataan yang relatif berkonotasi halus dan nonkonfrontatif.
Dalam salah satu kalimat pidatonya, Paus Fransiskus mengatakan, "Myanmar, secara keseluruhan telah menderita karena konflik sipil dan kekerasan yang berlangsung lama dan menciptakan kesenjangan." Demikian seperti dimuat dalam The Guardian.
Ia juga mengatakan, "Perbedaan agama tak boleh menjadi sumber kesenjangan dan ketidakpercayaan. Agama harus menjadi sumber persatuan, maaf-memaafkan, toleransi, dan kebijakan."
Kendati demikian, Paus meminta agar, "Proses perdamaian dan rekonsiliasi harus selaras dengan komitmen keadilan dan hak asasi manusia."
Dalam kesempatan yang sama, Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa "situasi di Rakhine" dapat dijadikan sebagai momentum bagi Myanmar untuk mengatasi beragam isu "sosial-ekonomi-politik" yang telah "mengikis kepercayaan, pemahaman, harmoni, dan kerja sama di Rakhine".
Sebelumnya, pertemuan Paus Fransiskus dengan Aung San Suu Kyi merupakan ajang yang paling dinanti. Beberapa bulan lalu, ia pernah menekankan bahwa Suu Kyi cenderung diam dalam menyikapi krisis kemanusiaan yang terjadi di Burma.
Selain itu, bagi komunitas internasional, pertemuan itu mampu menjadi ajang bagi sang penampuk Takhta Suci Vatikan untuk membahas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar secara lebih terbuka, termasuk menyebut etnis yang terdampak sesuai dengan nama yang seharusnya, Rohingya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement