Liputan6.com, New York City - Abu vulkanik dan partikel lain terus menyembur dari Gunung Agung. Awan berbahaya yang ditimbulkan pun membuat ribuan penduduk harus dievakuasi dan banyak penerbangan terpaksa dibatalkan.
Baru-baru ini, para ahli pun memperingatkan bahwa erupsi Gunung Agung dapat memengaruhi kehidupan global dan terdapat kemungkinan bahwa suhu Bumi mengalami penurunan selama lima tahun. Demikian dilansir dari laman Express.co.uk, Sabtu (2/12/2017).
Beberapa dari mereka pun meyakini bahwa hal tersebut dapat memperlambat laju pemanasan global, akibat menurunnya suhu Bumi.
Advertisement
Para ilmuwan telah lama mengetahui bahwa letusan gunung berapi dapat mengubah iklim Bumi, seperti yang terjadi saat Tambora erupsi dahsyat pada 1815.
Namun, terjadinya fenomena itu tergantung seberapa dahsyat gunung api itu meletus. Hal tersebut disampaikan oleh ilmuwan iklim NASA, Chris Colose.
"Agar dampak iklim terjadi signifikan, perlu ada erupsi yang cukup eksplosif (untuk mengirim material vulkanik ke stratosfer) dan letusan yang kaya belerang (sulfur dioksida mengubahnya menjadi asam sulfat yang dapat menghalangi sinar Matahari)," ujar Colose.
"Jika kondisi ini terpenuhi, erupsi akan mendinginkan permukaan atau troposfer dan menghangatkan stratosfer, kebalikan dari kedua pola yang terkait dengan kenaikan karbon dioksida. Tapi keduanya sangat berumur pendek," imbuh dia.
Pada 1963, letusan Gunung Agung mencapai ketinggian 26 kilometer di atas permukaan laut dan menewaskan sekitar 1.110 orang. Tak mengherankan jika erupsi tersebut berkontribusi terhadap penurunan suhu Bumi, meski tak terlalu signifikan.
"Untuk dapat memengaruhi iklim, perlu sulfur dioksida yang cukup banyak hingga masuk ke stratosfer. Partikel sulfur dioksida dapat menghambat sinar Matahari yang masuk, sehingga mendinginkan planet ini," jelas Colose.
"Jika pelepasan sulfur dioksida serupa terjadi, bisa mendinginkan planet selama 1-2 tahun, dan kemudian kembali seperti semula," imbuh dia.
Sejumlah ilmuwan mengatakan, perilaku erupsi terbaru Gunung Agung serupa dengan erupsi 1963. Mereka memperkirakan bahwa jumlah sulfur dioksida serupa kemungkinan dapat dilepaskan ke atmosfer.
Erupsi Gunung Agung pada 1963 menurunkan suhu global sebesar 0,2 derajat Celsius selama satu tahun. Namun, jika jumlah sulfur dioksida dalam jumlah yang sama dimuntahkan ke atmosfer Bumi dalam erupsi terbaru, maka suhu global akan turun sebesar 0,1 hingg 0,2 derajat Celcius pada periode 2018 hingga 2020.
Seorang ilmuwan ilmu lingkungan di Rutgers University, Alan Robock, mengatakan bahwa sulfur dioksida yang bereaksi dengan air di atmosfer akan membentuk tetesan asam sulfat yang bisa bertahan selama satu tahun lebih.
Ketika sinar Matahari menyentuh tetesan tersebut, energi dipantulkan kembali ke angkasa, mengurangi masuknya sinar Matahari dalam jumlah besar.
Penurunan Suhu Tak Sembuhkan Bumi dari Pemanasan Global
Profesor Emeritus di bidang geologi di Australian National University, Richard Arculus, memiliki pendapat berbeda. Dalam abc.net.au, ia mengatakan bahwa penurunan suhu Bumi tak bertahan lama.
Meski menurutnya kabut asam sulfat dapat berada di stratosfer selama beberapa tahun, tetesan kecil zat tersebut segera menghujani Bumi.
"Itu cukup kecil sehingga mereka bisa berada di atas sana selama beberapa waktu ... tapi zat itu akan kembali ke Bumi bersama hujan," ujar Arculus.
Oleh karena itu, turunnya suhu akibat erupsi tak serta-merta "menyembuhkan" Bumi dari pemanasan global.
"Ini adalah efek jangka pendek, tak seperti injeksi karbon dioksida yang bertahan bertahun-tahun akibat pembakaran bahan bakar fosil -- yang terus terakumulasi," kata Profesor Arculus.
Jika Gunung Agunung mengalami erupsi yang sama seperti pada 1963, Anda tak akan merasakan perubahan penurunan suhu Bumi.
"(Perubahan suhu) tidak cukup lama hingga kita sadar akan perubahannya. Ini lebih ke perubahan yang disadari ilmuwan melalui sebuah instrumen ilmiah," jelas Arculus.
Ia pun menyebut, erupsi Gunung Agung kali ini tak sedahsyat Tambora.
"Setelah (Gunung Tambora) erupsi, kejadian itu disadari hingga ke Eropa Utara dan Amerika, mereka menyebutnya 'Tahun Tanpa Musim Panas'," kata Arculus.
"Erupsi menyebabkan penurunan suhu yang cukup besar sehingga membuat beku wilayah New England dan Amerika Serikat pada Agustus, di mana hal itu tak pernah terjadi. Dan (ada) kegagalan panen yang meluas."
"Belum ada anggapan bahwa Gunung Agung akan mengalami letusan sebesar Tambora," jelas dia.
Advertisement