Sukses

Mantan Presiden Yaman Dikonfirmasi Terbunuh di Sanaa

Ali Abdullah Saleh tewas setelah 'membelot' dari kelompok Houthi. Kabar kematiannya dikonfirmasi oleh pejabat partai yang dipimpinnya.

Liputan6.com, Sanaa - Mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh (75) dikonfirmasi tewas dalam pertempuran antara pasukan pendukungnya dengan eks sekutunya, pemberontak Houthi.

Dilansir dari BBC pada Selasa (5/12/2017), pejabat dari Partai General People's Congress mengatakan bahwa Saleh tewas dalam serangan di selatan Sanaa. General People's Congress sendiri merupakan partai yang didirikan dan dipimpin oleh Saleh.

Adapun pemimpin pemberontak Houthi menyambut baik kabar tewasnya mantan pemimpin Yaman tersebut, mengklaimnya sebagai "peristiwa besar dan signifikan". Abdul Malik al-Houthi mengatakan bahwa pihaknya telah menggagalkan sebuah "konspirasi" koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi.

Sementara itu, PBB menyatakan bahwa serangan udara di Sanaa telah meningkat dan pertempuran menyebar ke wilayah lainnya seperti Hajjah.

Laporan dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan menyebutkan bahwa jalan-jalan telah diblokir dan tank-tank menyebar dimana-mana. Sejumlah pertempuran sengit dilaporkan terjadi di kawasan diplomatik dekat kompleks PBB.

Koordinator Kemanusiaan PBB di Yaman, Jamie McGoldrick, meminta jeda kemanusiaan pada 5 Desember demi mengizinkan warga sipil meninggalkan rumah mereka dan mencapai bantuan. Jeda kemanusiaan juga diharapkan dapat membantu pelaksanaan tugas pekerja kemanusiaan untuk melanjutkan program mereka.

"Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya... Anak-anak dan remaja -- ini sangat menyedihkan," ujar McGoldrick kepada BBC.

"Dan bagi kami, dalam situasi ini, kami tidak dapat membantu mereka karena kami sama-sama terkurung dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai dengan keinginan kami."

2 dari 2 halaman

Perang Yaman

Perang di Yaman yang melibatkan dua pihak yang sama-sama mengaku sebagai pemerintahan sah telah dimulai sejak 2015. Dan Saleh tewas setelah "membelot" dari pemberontak Houthi yang bertempur melawan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi.

Yaman menjadi "arena perang" baru di Timur Tengah setelah koalisi Arab Saudi turut campur dalam pertempuran dengan membela Presiden Hadi.

Saleh diketahui menawarkan "hubungan baru" dengan koalisi pimpinan Arab Saudi jika Riyadh berhenti melancarkan serangan dan mengakhiri blokade yang melumpuhkan negara tersebut.

Adapun Houthi melihat perubahan sikap Saleh ini sebagai "kudeta".

Pada hari Minggu, pasukan Houthi dilaporkan telah menguasai sebagian besar wilayah ibu kota dan pertempuran sengit pecah di sekitar kediaman Saleh dan sekutunya.

Serangan udara koalisi pimpinan Saudi gagal menghentikan aksi Houthi dan pada hari Senin pagi, rumah Saleh berhasil dimasuki kelompok itu. Segera setelahnya beredar kabar bahwa Saleh terbunuh.

Video yang beredar di media sosial menunjukkan mayat pria yang diduga Saleh dengan luka parah di bagian kepala ditutupi selimut dan digotong oleh sejumlah pria bersenjata.

Tak lama, rumor kematian Saleh dipastikan oleh pejabat Partai General People's Congress. Mereka menjelaskan konvoi Saleh dan loyalisnya diserang pemberontak Houthi saat mereka berusaha melarikan diri ke selatan.

Ada pula laporan yang menyebutkan ia tewas setelah diserang granat berpeluncur roket.

Mengapa Saleh dan Houthi Sempat Bersekutu?

Saleh bukan "orang baru" di Yaman. Pada 1978, ia berkuasa sebagai Presiden Yaman Utara. Dan ketika Utara dan Selatan bersatu pada 1990, ia menjadi Presiden di republik baru itu.

Houthi sendiri telah melakukan serangkaian pemberontakan melawan Saleh pada medio 2004 dan 2010. Pada 2011, mereka juga mendukung sebuah pemberontakan yang memaksa Saleh menyerahkan kekuasaannya pada wakilnya, Abdrabbuh Mansur Hadi.

Pada 2014, Saleh membentuk koalisi dengan pemberontak Houthi di tengah kekecewaan mendalam pada transisi politik. Kemudian pada awal 2015, koalisi Saleh dan Houthi menggulingkan Hadi hingga memaksanya "mengungsi" ke luar negeri. Peristiwa ini mengawali perang Yaman.

Sejak saat itu lebih dari 8.670 orang terbunuh dan 49.960 lainnya terluka. Konflik dan blokade juga menyebabkan 20,7 juta orang bergantung pada bantuan kemanusiaan, menciptakan kondisi darurat keamanan pangan terbesar di dunia dan memicu wabah kolera yang sejak April 2017 diperkirakan telah menewaskan 2.211 orang.