Sukses

Mau Serahkan Aset, Sejumlah Elite Saudi Bebas dari Kasus Korupsi

Jaksa Agung Arab Saudi menyebut sejauh ini 320 orang telah diperiksa dan 376 rekening bank telah dibekukan terkait operasi anti-korupsi.

Liputan6.com, Riyadh - Pejabat Arab Saudi mengungkapkan bahwa 159 pemimpin bisnis, termasuk anggota keluarga kerajaan, yang ditahan di sebuah hotel bintang lima di Riyadh atas kasus korupsi sebagian besar telah sepakat menyerahkan aset sebagai tebusan kebebasan mereka.

Jaksa Agung Arab Saudi, Saud al-Mujib, pada hari Selasa waktu setempat mengatakan sejauh ini 320 orang telah diperiksa dan 376 rekening bank telah dibekukan sehubungan dengan operasi anti-korupsi yang dipimpin oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman.

Seperti dikutip dari The Guardian pada Rabu (6/12/2017), mereka yang mencapai kata sepakat dengan jaksa --menyetujui penyerahan aset yang dianggap hasil dari korupsi-- telah dibebaskan secara bertahap.

Di antara mereka yang sudah menghirup udara bebas adalah Pangeran Miteb bin Abdullah al-Saud, sepupu pertama Putra Mahkota dan mantan Kepala Garda Nasional. Ia dibebaskan dari Ritz Carlton hotel pekan lalu.

Pasca-penangkapan sejumlah elite Arab Saudi, hotel Ritz Carlton yang menjadi lokasi penahanan mereka dinobatkan sebagai penjara termewah di dunia sepanjang sejarah.

Korupsi tingkat tinggi dilaporkan telah merajalela di Arab Saudi sejak lama. Dan melalui operasi yang dipimpinnya, Pangeran Mohammed bin Salman ingin meyakinkan para pemimpin bisnis global bahwa berinvestasi di Arab Saudi tidak perlu menyuap keluarga kerajaan atau takut tidak transparan.

"Dia (Pangeran Mohammed bin Salman) ingin agar semua mengerti bahwa sekarang semuanya berada pada pijakan yang tepat. Bahwa mereka bisa memercayai prosesnya," ungkap seorang pejabat senior Saudi.

2 dari 2 halaman

Dugaan Konsolidasi Kekuasaan

Meski Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menegaskan bahwa penangkapan terhadap sejumlah anggota keluarga kerajaan, pejabat dan pebisnis ini didasarkan pada upaya memberantas korupsi, namun banyak yang mencurigai langkah tersebut bertujuan mengonsolidasikan kekuatannya sebagai pewaris takhta baru.

Pangeran Miteb bin Abdullah al-Saud disebut-sebut sebagai salah satu dari sedikit rivalnya yang tersisa untuk naik takhta.

Pergantian Putra Mahkota dari Pangeran Mohammed bin Nayef ke Pangeran Mohammed bin Salman sendiri diwarnai isu kudeta.

Dalam laporannya pada 18 Juli lalu, The New York Times memuat plot Pangeran Mohammed bin Salman untuk menyingkirkan Pangeran Mohammed bin Nayef sebagai pewaris takhta. Informasi ini didapat dari sejumlah pejabat Amerika Serikat dan kerabat kerajaan.

Dijelaskan, sebelum pergantian putra mahkota diumumkan, sempat terjadi insiden "penyekapan". Saat itu, 20 Juni 2017 malam, sekelompok pangeran senior dan pejabat keamanan berkumpul di Istana Safa di Mekkah setelah diinformasikan bahwa Raja Salman ingin bertemu dengan mereka.

Sebelum tengah malam, Pangeran Mohammed bin Nayef diberitahu bahwa ia akan bertemu dengan raja. Karenanya, ia digiring ke ruangan lain. Namun yang terjadi, ponselnya disita dan ia ditekan untuk menyerahkan jabatannya sebagai putra mahkota dan menteri dalam negeri.

Menurut sumber informasi yang sama, awalnya Pangeran Mohammed bin Nayef menolak. Namun, seiring berjalannya waktu, pria yang pernah mengalami percobaan pembunuhan pada tahun 2009 itu semakin lelah.