Sukses

UNICEF: Polusi Udara Mengancam 17 Juta Bayi di Dunia

UNICEF menyebut, mayoritas bayi rentan, yang jumlahnya mencapai 17 juta jiwa itu, bermukim di Asia Selatan.

Liputan6.com, New York - Ada sekitar 17 juta bayi di seluruh dunia yang tinggal di wilayah-wilayah dengan tingkat polusi udara enam kali di atas ambang batas yang direkomendasikan oleh Badan PBB Urusan Anak-anak (UNICEF). Kondisi udara yang buruk ini akan mengancam perkembangan otak bayi.

Dilansir dari laman VOA Indonesia (7/12/2017), mayoritas bayi yang jumlahnya mencapai 17 juta nyawa ini bermukim di Asia Selatan dengan rata-rata usia di bawah satu tahun.

"Polusi udara tidak hanya merusak paru-paru bayi yang sedang berkembang, tapi juga bisa menimbulkan kerusakan permanen pada otak mereka. Dan akibatnya, akan mengancam masa depan mereka," kata Anthony Lake, direktur eksekutif UNICEF.

"Polusi udara sangat berkaitan dengan penyakit asma, pneumonia, bronkitis dan infeksi saluran pernafasan lainnya," tambahnya.

Sementara itu, Nicholas Rees yang juga dari pihak UNICEF mengatakan bahwa temuan-temuan ilmiah mengenai hubungan antara bahaya polusi dan menghambat perkembangan otak anak memang belum meyakinkan.

Tetapi, Rees meyakini, kini sudah ada banyak bukti yang menunjukkan indikasi berbahaya dan dampak polusi udara tersebut.

Perkembangan otak dalam 1.000 hari pertama kehidupan seorang bayi dan anak sangat penting untuk kemampuan belajar dan berkembang.

"Kebanyak perhatian tertumpu pada memastikan anak-anak mendapatkan pendidikan berkualitas, tapi perkembangan otak mereka juga sama pentingnya," jelas Rees.

 

2 dari 2 halaman

Polusi Udara Berat di Balik Kematian 1,7 Juta Anak-Anak di Dunia

Pada Maret 2017, Lembaga Kesehatan Dunia atau WHO baru-baru ini mengeluarkan laporan tentang dampak polusi terhadap anak-anak. Menurut lembaga yang berkedudukan di Jenewa, sebanyak 1,7 juta kematian anak-anak di seluruh dunia diakibatkan oleh lingkungan yang tercemar, seperti air yang terkontaminasi, polusi dalam maupun luar ruang, dan kondisi kurang sehat lainnya.

Lemahnya sistem kekebalan tubuh membuat kesehatan anak-anak lebih rentan terhadap efek berbahaya dari lingkungan yang tercemar.

Beberapa penyebab kematian paling umum di kalangan anak-anak adalah malaria, diare, dan pneumonia. Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan mengurangi risiko yang terdapat di lingkungan.

Sekitar seperempat kematian dan penyakit anak-anak yang terjadi pada 2012 sebenarnya dapat dicegah dengan mengurangi risiko lingkungan.

Terpaparnya ibu hamil terhadap lingkungan yang tercemar dapat meningkatkan kesempatan lahirnya bayi prematur. Anak-anak di bawah lima tahun yang terkontaminasi polusi memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular pneumonia dan penyakit pernapasan kronis.

Kemungkinan penyakit kardiovaskular, kanker, dan stroke juga secara signifikan meningkat terhadap orang-orang yang terpapar lingkungan tercemar.

Dikutip dari Washington Post, menurut laporan WHO setiap tahunnya:

  • 570.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal karena infeksi pernapasan akibat polusi udara dalam dan dalam ruang, serta asap pembakaran produk tembakau, seperti rokok.
  • 361.000 anak-anak di bawah 5 tahun meninggal akibat diare karena kurangnya akses air bersih, sanitasi, dan kebersihan.
  • 270.000 kematian anak-anak berusia kurang dari satu bulan dapat dicegah dengan perbaikan akses air dan udara bersih serta sanitasi.
  • 200.000 kematian anak-anak di bawah 5 tahun akibat malaria dapat dicegah melalui aksi lingkungan, seperti mengurangi sarang perkembangbiakan nyamuk.

200.000 kematian anak-anak di bawah 5 tahun akibat malaria dapat dicegah melalui aksi lingkungan, seperti mengurangi sarang perkembangbiakan nyamuk.

Paparan bahan kimia berbahaya melalui udara, makanan, air, dan produk yang digunakan sehari-hari juga dikaitkan dengan terhambatnya perkembangan otak anak-anak.

Sejumlah bahan kimia masuk ke dalam rantai malanan melalui pupuk. Sementara itu bahan berbahaya lain, seperti timah dari cat atau polusi, dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan.

Risiko lingkungan yang baru muncul, seperti limbah elektronik yang tak didaur ulang dengan baik, dapat mengenai ke anak-anak yang akhirnya mempengaruhi kemampuan kognitif mereka dan meningkatkan kemungkinan kerusakan paru-paru dan kanker.

Perubahan iklim juga berkontribusi terhadap risiko lingkungan, seperti meningkatkan paparan serbuk sari dan alergen lainnya, yang meningkatkan risiko asma pada anak-anak.