Liputan6.com, Zagreb - Ketika sebuah kereta menabrak Madina Hussiny yang berusia enam tahun, pada 21 November 2017, keluarga bocah itu sontak terkejut.
Sejumlah di antara mereka segera mengerumuni jenazah bocah itu, sisanya menghampiri aparat yang ada di sekitar lokasi kejadian, yang terletak di perbatasan Kroasia.
Beberapa saat sebelum peristiwa nahas itu terjadi, polisi perbatasan Kroasia menghalau keluarga pengungsi Afghanistan itu -- yang tengah melakukan perjalanan eksodus -- dari Kroasia. Si petugas meminta mereka untuk kembali ke lokasi asal mereka, dengan melintas di sebuah jalur kereta, di malam hari tanpa penerangan yang optimal.
Advertisement
Si polisi perbatasan pun tak memberikan imbauan kepada keluarga itu bahwa masih akan ada kereta yang melintasi rel tersebut, demikian pengakuan Muslima Hussiny, ibu Madina, seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (8/12/2017).
Baca Juga
Pada akhirnya, ketika sebuah kereta melintas, Madina pun menjadi korban jiwa.
Otoritas membantah bahwa meninggalnya Madina terjadi di kawasan Kroasia. Menurut otoritas, bocah berusia enam tahun itu tewas di sisi terjauh perbatasan Serbia -- negara yang sebelumnya dilintasi oleh keluarga Hussiny.
Kendati demikian, peristiwa itu tetap tercatat dalam berita acara kasus otoritas perbatasan Kroasia, mengingat keluarga Hussiny berlari meminta tolong kepada petugas perbatasan negara pecahan Yugoslavia itu.
"Kami menekankan bahwa polisi perbatasan Kroasia tak terlibat dalam bentuk apa pun atau menyebabkan kematian seorang anak," kata pernyataan resmi dari Menteri Dalam Negeri Kroasia.
Pernyataan itu meneruskan bahwa Kroasia, sebagai negara anggota Uni Eropa, tetap menghargai dan melindungi pengunsi sesuai peraturan UE.
Namun, keluarga Hussiny benar-benar yakin, bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang semena-mena dari otoritas perbatasan Kroasia itu.
Keluarga Hussiny mengaku bahwa otoritas perbatasan Kroasia mengabaikan mereka dan tidak memberikan penanganan medis dengan segera. Setelah beberapa lama, ambulans pun tiba di lokasi, membawa Madina pergi sendiri, tanpa menyertakan keluarganya.
Muslima pun baru mendengar kabar kematian anaknya beberapa hari kemudian, ketika keluarga Hussiny akhirnya diizinkan datang ke rumah sakit tempat Madina dirawat dan disemayamkan.
"Mereka (otoritas Kroasia) memperlakukannya (Madina) seperti anjing, tak seperti manusia," kata salah seorang anggota keluarga Hussiny.
Prosesi pemakaman pun juga menuai polemik. Dokumen kependudukan, status keluarga Hussiny sebagai imigran, serta perlakuan otoritas Kroasia yang tak kooperatif, mempersulit mereka untuk mengebumikan jenazah bocah enam tahun itu.
Dan pada akhirnya, Madina asal Afghanistan dimakamkan di sudut pekuburan kota, tanpa nisan, tanpa tanda, dan akan segera terlupakan di tengah hiruk-pikuk Kroasia. Meski begitu, keluarga Hussiny menolak lupa pada apa yang telah menimpa mereka.
Polemik Imigran dan Pengungsi di Eropa
Contoh kasus keluarga Hussiny asal Afghanistan itu adalah segelintir kecil dari krisis pengungsi yang telah melanda Eropa selama beberapa tahun terakhir. Krisis itu menciptakan ratusan hingga ribuan polemik, masalah, dan khususnya penderitaan bagi mereka yang mengungsi.
Ribuan pengungsi dilaporkan terjebak di Serbia, dan sebagian besar di antara mereka diprediksi tak akan mendapat suaka dari pemerintah negara tujuannya. Mereka pun hanya memiliki kesempatan yang kecil untuk melintas ke negara anggota Uni Eropa lain.
Opsi mereka terbatas, meliputi sekitar tiga negara, yakni Kroasia, Hungaria, dan Bulgaria.
Sementara itu, polemik petugas perbatasan ketiga negara itu, yang menghalau gelombang pengungsi dengan cara-cara kekerasan, semakin memperkeruh situasi. Kata laporan Medecins Sans Frontieres (MSF).
"Banyak pengungsi yang kita tangani mengatakan bahwa polisi perbatasan Kroasia menghalau para pengungsi untuk kembali ke lokasi mereka sebelumnya (Serbia). Dan mereka diminta untuk kembali melalui jalur kereta. Polanya selalu seperti itu, menurut yang kami dengar," kata penasihat humaniter MSF untuk Serbia, Andrea Contenta.
Contenta mengatakan bahwa situasi semacam itu adalah konsekuensi atas berbagai kebijakan Uni Eropa yang tak memberikan perlindungan terhadap pengungsi.
"Kebijakan semacam itu menempatkan banyak orang berada dalam kondisi yang berbahaya. Mereka tak aman untuk bepergian ke mana pun," tambahnya.
Advertisement