Liputan6.com, Berlin - Setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, situasi politik di Timur Tengah semakin memanas.
Apalagi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghimbau kepada seluruh negara Uni Eropa untuk mengikuti keputusan itu.
Baca Juga
Berlin's Jewish Museum, yang berada di Berlin, Jerman, membuka pameran menarik di Yerusalem saat ini juga. Pameran tersebut berjudul "Welcome to Jerusalem".
Advertisement
Terdengar ironis memang, mengingat konteks geopolitik sekarang ini sedang panas. Tetapi, penyelenggaraan pameran ini sudah direncanakan jauh hari sebelum Donald Trump mengumumkan keputusannya.
"Yerusalem adalah kota yang berada di antara surga dan neraka dunia," kata kurator pameran Cilly Kugelmann, dilansir Deutsche Welle, Selasa (12/12/2017).
"Kami menghabiskan banyak waktu untuk menemukan cara mengurangi tema yang rumit, menuangkan ide ke dalam sepetak ruangan," paparnya.
Dan pada akhirnya, tema yang terpilih adalah agama.
"Kami memutuskan untuk berfokus pada kesucian tempat, masa-masa kejayaan dan masa aktif secara politis. Semua orang menganggap Yerusalem sebagai Kota Suci," jelas Kugelmann.
Kugelmann mengandalkan 'aura' ketenaran Yerusalem. Aura ini terpancar seperti 'cahaya kudus' yang membuat beberapa pengunjung merasa lebih dekat kepada Tuhan saat berada di Yerusalem.
Sayangnya, fakta tersebut justru memicu perselisihan global.
Keagungan dan Penderitaan Yerusalem
Berlin's Jewish Museum menawarkan petualangan unik tentang sejarah kota tersebut. Properti pameran akan dipamerkan di 15 ruangan terpisah, seperti misal model arsitektur, film, karya seni, dan juga peta langka.
Beberapa di antaranya ditemukan secara bebas oleh kartografer Middle Age yang hijrah ke Yerusalem.
"Welcome to Jerusalem" mencoba untuk membawa pengunjung masuk ke dalam atmosfir yang lebih 'khusyuk', yang diciptakan melalui tayangan audio visual tiga dimensi.
Tayangan tersebut menampilkan "24 Hours Jerusalem", sebuah film yang digarap oleh sutradara asal Berlin, Volker Heise.
Advertisement
Milik Siapakah Yerusalem?
Pertanyaan ini tak mudah dipecahkan hanya dengan menggelar pameran. Apalagi pameran tersebut bersifat apolitis.
Apa yang dipamerkan di dalamnya mencakup "Ruang Konflik" yang mana berhubungan dengan ketegangan dan ketidakseimbangan saat ini.
Di samping itu, pameran "Welcome to Jerusalem" juga menggambarkan hidupnya tiga agama secara harmonis -- Yahudi, Kristen dan Islam -- yang disertai teks dalam bahasa Jerman, Inggris dan Arab.
Tidak mengherankan jika Yahudi menjadi fokus utama pameran tersebut. Sedangkan untuk Perang Salib, menurut Cilly Kugelmann, tidak mungkin ada pameran yang sempurna, seperti dokumen sejarah Perang Salib yang meiliki peran vital untuk menggambarkan intoleransi selama era kegelapan kala itu.
Menyaksikan Banyak Pembantaian
Setelah penaklukan Yerusalem selama Perang Salib Pertama tahun 1099, seorang sejarawan Kristen menuliskan kesaksiannya saat melihat darah mengalir di jalanan: "Orang-orang Yahudi dikebumikan di sebuah rumah ibadat untuk dibunuh dengan pedang, sementara puluhan ribu Muslim dibantai secara brutal. Potongan kepala, tangan dan kaki berceceran. Sungguh, ini adalah cobaan yang berat, mengisi tempat itu dengan darah orang-orang yang tak berdosa. Ketika mereka tak dapat menemukan lebih banyak orang untuk dibunuh, tentara salib pindah ke Gereja Makam Kudus sembari berdendang nyanyian rohani mereka. Mereka merayakan Paskah, tepat, di sebelah makam Kristus. "
Kugelman mengatakan, berdialog dengan beragam kelompok masyarakat dirasa sulit dilakukan. Ketika panitia penyelenggara "Welcome to Jerusalem" meminta orang-orang Palestina untuk menyumbangkan dokumen dalam pameran itu, mereka menolaknya, mentah-mentah.
"Orang-orang Palestina bersikeras punya versi sejarah mereka sendiri, mereka menolak untuk berpartisipasi dalam pameran ini, dimana ada campur tangan orang-orang Yahudi di dalamnya," ungkap Kugelmann yang juga menjabat sebagai direktur program Jewish Museum dari tahun 2002 sampai Maret 2017.
Â
Advertisement
Sumbangan Seniman Palestina Mona Hatoum
Ada beberapa pengecualian dari keterangan di atas. Artis berdarah Palestina Mona Hatoum -- yang terkenal karena kritik kerasnya terhadap pendudukan Israel -- nyatanya mau menyumbang karya dalam pameran itu.
Karya berjudul "Present Tense" tersebut, katanya, menggambarkan kehidupan baru Palestina.
Dia menuangkan ide karyanya itu pada sebuah mosaik yang terdiri dari potongan-potongan sabun berbentuk persegi. Sabun yang dipakainya dibuat di Nablus, kota yang menjadi bagian dari identitas budaya Palestina.
Akibat serangan Israel dan perambahan di pusat bersejarah Nablus, produksi sabun tradisional berhenti.