Sukses

Menhan Israel: Pasukan Kami Siaga Perang

Menhan Israel Avigdor Lieberman meminta rakyat Israel tetap 'rileks' seraya memastikan ia telah memerintahkan pasukan untuk bersiaga.

Liputan6.com, Tel Aviv - Menteri Pertahanan Israel Avigdor Lieberman mengatakan, pihaknya siap menghadapi "skenario apa pun". Pernyataan Lieberman itu terkait dengan potensi perang di Jalur Gaza menyusul meningkatnya demonstrasi yang memprotes pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Selama demonstrasi berlangsung, pasukan Israel memberikan respons keras terhadap pengunjuk rasa Palestina. Mereka dikabarkan menggunakan tembakan untuk menghancurkan infrastruktur di Jalur Gaza serta menembaki demonstran.

Dan sebagai balasannya, warga Palestina dilaporkan telah menembakkan roket ke daerah-daerah tak berpenghuni di Israel selatan.

Menurut Lieberman, tembakan roket yang terjadi baru-baru ini merupakan hasil konflik internal Palestina dan bukan indikasi bahwa faksi-faksi Palestina tidak lagi takut pada Israel.

"Peluncuran baru-baru ini dari Gaza di Sderot tidak ada kaitannya dengan Israel, namun merupakan hasil konflik antarfaksi di Palestina," papar Lieberman seperti dikutip dari middleeastmonitor.com pada Jumat (15/12/2017).

Menhan Israel kelahiran Rusia tersebut pun meminta rakyat Israel untuk "rileks". Ia menambahkan bahwa dirinya telah menginstruksikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk bersiap atas skenario apa pun.

"Kami tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya dan kapan harus melakukannya," tegas Lieberman.

Sebelumnya, Israel dikabarkan menutup perbatasan Beit Hanoun (Erez) dan Kerem Shalom ke Gaza "sampai adanya pemberitahuan lebih lanjut" dengan alasan keamanan. Dua penyeberangan tersebut merupakan jalur masuk utama barang orang ke Jalur Gaza yang terkepung.

2 dari 2 halaman

Pengakuan Trump Atas Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel

Krisis terbaru Yerusalem pecah pada 6 Desember 2017 setelah Donald Trump melalui pidatonya mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Keputusan Trump tersebut bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS yang telah berjalan selama puluhan tahun. Bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, selama tujuh dekade tepatnya, AS menolak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948.

Namun ternyata Trump punya pandangan berbeda. Ia menilai kebijakan penolakan atas Yerusalem tersebut membawa seluruh pihak "tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel-Palestina".

"Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda atau lebih baik," ungkap Presiden ke-45 AS tersebut.

Pengakuan Trump atas Yerusalem dinilai mengisolasi AS dalam salah satu isu diplomatik paling sensitif di dunia. Sebelumnya, wacana Trump tersebut telah menimbulkan badai kritik dari para pemimpin negara-negara Arab dan Eropa.