Liputan6.com, New York - Amerika Serikat memveto rancangan resolusi yang didukung 14 anggota Dewan Keamanan PBB, terkait Yerusalem. Rancangan resolusi itu meminta Presiden AS Donald Trump membatalkan pernyataannya yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
AS bersikukuh menggunakan hak veto atas resolusi yang diinisiasi Mesir tersebut. Namun, negara-negara Arab -- yang selama ini dikenal sebagai sekutu AS -- meminta dilakukan pemungutan suara untuk memperlihatkan banyaknya penentangan, bahkan dari sekutunya.
Baca Juga
Dalam pertemuan dengan negara-negara anggota DK PBB yang digelar pada Senin 18 Desember 2017, pemerintah Palestina mengecam veto AS. Juru bicara Presiden Palestina, Nabil Abu Rudeina menyampaikan keberatannya terhadap veto tersebut. Katanya, "veto AS dapat mengancam stabilitas internasional dan tidak menghargai kesepakatan negara-negara lain."
Advertisement
Dalam sebuah wawancara dengan AFP, Selasa 19 Desember 2017, ia mengatakan bahwa dukungan untuk resolusi DK PBB tersebut -- yang juga datang dari sekutu AS, yaitu Prancis, Italia dan Jepang -- menunjukkan pengucilan terhadap Amerika Serikat. Dunia internasional kini akan bekerja keras untuk melindungi rakyat Palestina.
Berbicara setelah pemungutan suara, Riyad Mansour, duta besar Palestina untuk PBB, mengatakan: "Sungguh sebuah paradoks. Sementara kami menunggu rencana perdamaian dari AS, negara itu malah memutuskan untuk menghalangi perdamaian dan menunda realisasinya."
"Keputusan AS mendorong Israel untuk terus melakukan kejahatan terhadap rakyat Palestina dan melanjutkan pendudukan wilayah kami. Tidak ada retorika yang menyembunyikan rasa puas diri dalam memperpanjang pendudukan," tambahnya, seperti dikutip dari Al Jazeera pada Selasa (19/12/2017).
Pada hari Senin, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah payung partai politik Palestina, mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menerima AS sebagai mitra dalam proses perdamaian.
"Kami tidak akan membiarkan AS menjadi mediator atau mitra dalam proses perdamaian," kata Mahmoud Abbas, Presiden Palestina.
Abbas juga berjanji akan mendapatkan status keanggotaan penuh bagi Palestina di PBB, meski sebelumnya usaha itu gagal pada tahun 2011.
Saat ini, Palestina adalah "negara pengamat non-anggota", yang berarti memiliki hak untuk berbicara namun tidak punya hak veto untuk mengambil resolusi.
"Kami akan mengambil tindakan politik, diplomatik, dan hukum terhadap deklarasi Trump mengenai Yerusalem," kata Abbas.
Dalam rancangan resolusi tersebut, semua negara diminta menahan diri melakukan misi diplomatik di kota suci Yerusalem, merujuk resolusi yang dikeluarkan PBB pada 1980.
Poin berikutnya dari rancangan resolusi yang diveto Amerika Serikat adalah mendesak semua negara mematuhi 10 resolusi terkait Yerusalem, yang terbit sejak 1967, termasuk soal status Yerusalem yang hanya bisa diputuskan dalam perundingan langsung antara Israel dan Palestina.
Selanjutnya, rancangan resolusi ini juga menegaskan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk mengubah karakter, status, atau komposisi demografis kota suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku, dan harus dibatalkan.
Di dalam rancangan resolusi tersebut tercantum pula seruan untuk mencegah tindakan-tindakan yang membahayakan terwujudnya solusi dua negara (two-state solution). Di antaranya isu Yerusalem yang menjadi poin penting bagi perdamaian Israel-Palestina.Â
Â
Dubes AS: Resolusi Yerusalem Sebuah Penghinaan
Empat belas negara DK PBB telah melakukan pemungutan suara terhadap resolusi itu, namun Duta Besar AS Nikki Haley melakukan hak veto Amerika.
Haley menyebut resolusi itu sebagai penghinaan yang tak akan terlupakan. Dia menyebut PBB telah memaksa AS menggunakan hak vetonya, hanya demi menentukan lokasi kedutaan besarnya di suatu negara.
Pada pertemuan di DK PBB , Haley menyatakan, Trump sangat berhati-hati untuk tidak mendahului hasil akhir negosiasi soal status Yerusalem. Ditegaskan pula bahwa negaranya tetap berkomitmen pada upaya perdamaian di Timur Tengah.
"Amerika Serikat memiliki keberanian dan kejujuran untuk mengenali kenyataan mendasar", kata Halley
"Yerusalem telah menjadi tanah air politik, budaya, dan spiritual masyarakat Yahudi selama ribuan tahun -- mereka tidak memiliki ibu kota lain," lanjutnya.
"Amerika Serikat memiliki kedaulatan untuk menentukan di mana dan apakah kita mendirikan sebuah kedutaan," kata Haley, yang menggambarkan pemungutan suara tersebut sebagai "penghinaan" yang "tidak akan terlupakan".
Sesaat setelah mengetahui veto AS, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Haley.
"Terimakasih, Duta Besar Haley. Kebenaran akan mengalahkan kebohongan. Terima kasih, Presiden Trump. Terima kasih, Nikki Haley," ucap Netanyahu melalui akun Twitter resminya.
Â
Advertisement