Sukses

Pemimpin Palestina Puji Hasil Sidang PBB soal Yerusalem, tapi...

Sidang darurat Majelis Umum PBB usai digelar. Hasilnya, meloloskan resolusi yang menolak pengakuan AS atas Yerusalem.

Liputan6.com, Tepi Barat - Sidang darurat Majelis Umum PBB telah digelar pada Kamis, 21 Desember waktu New York, Amerika Serikat. Hasilnya, 128 negara termasuk Indonesia, mendukung diloloskannya resolusi yang menentang pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Adapun 35 negara menyatakan abstain dan 9 negara lainnya mendukung kebijakan kontroversial Trump soal Yerusalem. Mereka yang mendukung adalah AS, Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Nauru, Palau, Kepulauan Marshall dan Federasi Mikronesia.

Para pemimpin Palestina merespons hasil sidang darurat Majelis Umum PBB. Mereka menyebutnya sebagai bukti atas dukungan internasional bagi "keadilan".

"Masyarakat internasional telah secara tegas membuktikan bahwa mereka tidak dapat diintimidasi atau diperas, dan anggota (PBB) akan mempertahankan peraturan hukum global," papar Hanan Ashrawi, seorang anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina melalui sebuah pernyataan seperti yang dikutip dari Al Jazeera pada Jumat, (22/12/2017).

Namun, di lapangan, resolusi terbaru PBB tak lebih dari sekadar tindakan simbolis.

"Ini adalah hal yang sia-sia," ungkap Amany Khalifa, seorang aktivis politik di Yerusalem.

Menurutnya, "Otoritas Palestina (PA) harus mengevaluasi seluruh proses diplomatik di PBB. Pengalaman yang kami rasakan adalah selama beberapa dekade, resolusi tidak mengubah apapun".

Kemelut yang dipicu status Yerusalem bermula ketika Trump melanggar kebijakan luar negeri AS yang berjalan selama puluhan tahun, yakni mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Ia mengumumkan sikapnya itu pada Rabu, 6 Desember. Dalam kesempatan yang sama, Trump memerintahkan Kementerian Luar Negeri AS untuk memulai proses pemindahan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Pengakuan Trump atas Yerusalem merupakan hantaman telak bagi Palestina, yang selama lebih dari dua dasawarsa berusaha mendirikan sebuah negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Sebelum sidang darurat Majelis Umum PBB digelar, rancangan resolusi penolakan pengakuan Trump atas Yerusalem lebih dulu bergulir di forum Dewan Keamanan PBB. Namun, gagal karena diveto AS pada awal pekan ini.

Dicegat AS di DK PBB, Palestina pun mendorong diselenggarakannya sidang darurat Majelis Umum PBB. Dalam forum tertinggi di PBB ini, resolusi yang dihasilkan tidak mengikat secara hukum, tapi dianggap memiliki kekuatan politik.

"Kami akan mengambil tindakan politik, diplomatik dan hukum untuk melawan deklarasi Trump terkait Yerusalem," kata Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

Sementara, Khalifa menilai, satu-satunya pihak yang masih bicara tentang penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui solusi dua negara hanyalah kubu Presiden Abbas. "Adalah kepentingan mereka untuk mempertahankan wacana ini. Jika tidak, maka mereka tidak akan eksis."

Otoritas Palestina yang mengelola Tepi Barat selama ini meyakini bahwa satu-satunya jawaban atas konflik antara Palestina-Israel adalah pembentukan sebuah negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, berdampingan dengan wilayah Israel.

Meski demikian, sejak penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 -- yang dimaksudkan untuk mengarah pada pembentukan negara Palestina yang mencakup wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur -- pendudukan Israel atas wilayah-wilayah tersebut kian meningkat, sehingga dinilai sulit bagi rakyat Palestina untuk membayangkan opsi dua negara sebagai satu-satunya solusi.

Saat ini, antara 600 ribu hingga 750 ribu warga Israel atau sekitar 11 persen penduduk negara itu dilaporkan tinggal di wilayah pendudukan.

Dengan dikawal tentara Israel yang dibekali persenjataan berat, mereka menguasai sebagian besar tanah pribadi warga Palestina. Setidaknya, 12 permukiman telah dibangun di sekitar Yerusalem.

Mengingat fakta ini serta berkurangnya harapan Israel untuk menarik diri dari permukiman, sejumlah pihak menilai, sekarang adalah saatnya untuk mengedepankan pendekatan yang berbeda.

"Orang-orang telah hidup dalam realitas permukiman dan mereka melihat bahwa solusi (dua negara) tidak mungkin terwujud di lapangan. Kita harus menerima bahwa ada satu negara zionis, kemudian kita dapat bicara cara lain untuk bertahan dengan tidak berpegang pada solusi dua negara," terang Khalifa.

2 dari 3 halaman

Perjanjian Oslo Menjerumuskan?

Pentingnya menjaga status Yerusalem sebagai kota suci bagi tiga agama, yakni Islam, Kristen dan Yahudi membuat kebijakan Trump lebih dari sekadar persoalan sepele. Sejak pengumuman atas pengakuannya terhadap Yerusalem, sejumlah unjuk rasa pecah di berbagai belahan dunia. Tak sedikit aksi demo berujung ricuh, memicu jatuhnya korban.

Di Palestina, 10 orang tewas akibat respons terhadap demonstrasi yang ditunjukkan oleh militer Israel.

Di lain sisi, tak sedikit yang mengungkapkan bahwa demonstrasi menanggapi kebijakan Trump atas pengakuan Yerusalem tidak seheboh unjuk rasa saat menentang pemasangan detektor logam oleh Israel di pintu masuk Kompleks Masjid Al-Aqsa.

"Jika Anda bertanya pada salah satu pengunjuk rasa, mereka akan mengatakan: 'Trump bukanlah berita baru bagi kami'," tutur Mariam Barghouti, seorang penulis dan aktivis politik di Tepi Barat.

Terkait hal tersebut, seorang warga Palestina di Yerusalem, Nora Sub Laban mengatakan, kebijakan Trump mencerminkan kebenaran menyakitkan yang memang sudah ada.

"Ketika pimpinan kami mengatakan akan menerima solusi dua negara, apa yang bisa kami katakan lagi? (Perjanjian) Oslo mengacaukan kami. Kami dikelilingi oleh permukiman (Israel) di semua sisi dan tidak ada yang tersisa bagi kami," ujar Sub Laban yang tengah berjuang di jalur hukum untuk merebut kembali rumahnya dari tangan pemukim Israel.

Sub Laban tidak yakin dengan solusi dua negara. Banyak warga, menurutnya, juga telah kehilangan harapan akan hal itu.

"Suara kami terus menurun seiring waktu. Sementara masyarakat internasional membiarkan Israel tumbuh lebih kuat -- dari 1948 hingga hari ini...," ungkap Sub Laban.

Tahun 1948 merujuk pada pendirian Israel. Oleh Palestina, momen itu dikenal sebagai Nakba -- saat di mana lebih dari 750 ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka.

3 dari 3 halaman

Yerusalem, Jantung Konflik Palestina-Israel

Isu Yerusalem telah menjadi inti konflik sejak awal. Ketika PBB mengusulkan untuk "membelah" Palestina menjadi negara "Yahudi" dan "Arab" pada 1947, Yerusalem dimaksudkan tetap berada di bawah kendali PBB, mengingat statusnya sebagai kota suci tiga agama.

Namun yang terjadi, satu tahun kemudian, Israel merebut bagian barat Yerusalem dan mengklaim kepemilikannya. Pada 1967, Israel mencaplok bagian timur Yerusalem dan menyatakan klaim serupa.

Di Tepi Barat, Israel secara fisik menduduki wilayah itu, tetapi tidak mengklaim kepemilikannya. Hingga detik ini, mayoritas masyarakat internasional tidak mengakui klaim Israel atas Yerusalem. Karena itulah, seluruh kedutaan besar berkedudukan di Tel Aviv.

Menyusul penolakan masyarakat internasional, maka selama ini Israel disebut hanya mengonsolidasikan penguasaannya atas Yerusalem.

Pada tahun 2002, dibangunlah tembok pembatas di sepanjang Tepi Barat. Tembok selebar 708 kilometer itu dinilai efektif untuk melindungi Israel. Di lain sisi, sebagian melihatnya sebagai lambang segregasi rasial di wilayah tersebut.

"Masyarakat internasional hanya meyakini hak-hak rakyat Palestina di atas kertas -- tidak pada kenyataannya," kata Mohammad Abu al-Hummos, aktivis yang berafiliasi dengan Fatah.

Ia menekankan, "Tidak satu keputusan pun yang diambil atas Israel telah diterapkan di lapangan. Beberapa dari kami meyakini solusi dua negara, begitu juga dengan pemimpin kami. Tapi sayangnya jika Anda melihat situasi hari ini, itu tidak ada gunanya".

Video Terkini