Sukses

Kebijakan Trump soal Yerusalem Picu Aksi Vandalisme

Sekelompok orang dilaporkan mencoret-coret Monumen Pa'amon dengan menggunakan cat semprot. Mereka memuntahkan kekesalannya.

Liputan6.com, Yerusalem - Sebuah monumen peringatan di Yerusalem dirusak oleh sekelompok orang yang diduga anti-Donald Trump.

Pelaku mencoret Monumen Pa'amon dengan menggunakan cat semprot. Mereka menuliskan sejumlah kata-kata protes dalam bahasa Arab.

Tindakan tersebut diduga dilakukan lantaran mereka kesal dengan keputusan Trump, yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Mengutip Newsweek, Kamis, 21 Desember 2017, coret-coretan itu kurang lebih berbunyi: "Trump, Yerusalem adalah milik kami," dan "Yerusalem adalah ibu kota Palestina".

Hingga saat ini, polisi Israel tengah menyelidiki kasus vandalisme tersebut. Untuk sementara, masih belum diketahui dalang di balik aksi itu.

Monumen Pa'amon terletak di dekat Kibbutz Ramat Rachel dan Sur Bahir.

2 dari 2 halaman

Pemimpin Palestina Puji Hasil Sidang PBB soal Yerusalem, tapi...

Sidang darurat Majelis Umum PBB telah digelar pada Kamis, 21 Desember waktu New York, Amerika Serikat. Hasilnya, 128 negara termasuk Indonesia, mendukung diloloskannya resolusi yang menentang pengakuan Donald Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Adapun 35 negara menyatakan abstain dan sembilan negara lainnya mendukung kebijakan kontroversial Trump soal Yerusalem. Mereka yang mendukung adalah AS, Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Nauru, Palau, Kepulauan Marshall, dan Federasi Mikronesia.

Para pemimpin Palestina merespons hasil sidang darurat Majelis Umum PBB. Mereka menyebutnya sebagai bukti atas dukungan internasional bagi "keadilan".

"Masyarakat internasional telah secara tegas membuktikan bahwa mereka tidak dapat diintimidasi atau diperas, dan anggota (PBB) akan mempertahankan peraturan hukum global," papar Hanan Ashrawi, seorang anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina melalui sebuah pernyataan, seperti yang dikutip dari Al Jazeera pada Jumat.

Namun, di lapangan, resolusi terbaru PBB tak lebih dari sekadar tindakan simbolis.

"Ini adalah hal yang sia-sia," ungkap Amany Khalifa, seorang aktivis politik di Yerusalem.

Menurutnya, "Otoritas Palestina (PA) harus mengevaluasi seluruh proses diplomatik di PBB. Pengalaman yang kami rasakan adalah selama beberapa dekade, resolusi tidak mengubah apa pun".

Kemelut yang dipicu status Yerusalem bermula ketika Trump melanggar kebijakan luar negeri AS yang berjalan selama puluhan tahun, yakni mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel. Ia mengumumkan sikapnya itu pada Rabu, 6 Desember. Dalam kesempatan yang sama, Trump memerintahkan Kementerian Luar Negeri AS untuk memulai proses pemindahan kedutaan besar dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Pengakuan Trump atas Yerusalem merupakan hantaman telak bagi Palestina, yang selama lebih dari dua dasawarsa berusaha mendirikan sebuah negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Sebelum sidang darurat Majelis Umum PBB digelar, rancangan resolusi penolakan pengakuan Trump atas Yerusalem lebih dulu bergulir di forum Dewan Keamanan PBB. Namun, gagal karena diveto AS pada awal pekan ini.

Dicegat AS di DK PBB, Palestina pun mendorong diselenggarakannya sidang darurat Majelis Umum PBB. Dalam forum tertinggi di PBB ini, resolusi yang dihasilkan tidak mengikat secara hukum, tapi dianggap memiliki kekuatan politik.

"Kami akan mengambil tindakan politik, diplomatik, dan hukum untuk melawan deklarasi Trump terkait Yerusalem," kata Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

Sementara, Khalifa menilai, satu-satunya pihak yang masih bicara tentang penyelesaian konflik Palestina-Israel melalui solusi dua negara hanyalah kubu Presiden Abbas. "Adalah kepentingan mereka untuk mempertahankan wacana ini. Jika tidak, maka mereka tidak akan eksis."

Otoritas Palestina yang mengelola Tepi Barat selama ini meyakini bahwa satu-satunya jawaban atas konflik antara Palestina-Israel adalah pembentukan sebuah negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, berdampingan dengan wilayah Israel.

Meski demikian, sejak penandatanganan Perjanjian Oslo pada 1993 -- yang dimaksudkan untuk mengarah pada pembentukan negara Palestina yang mencakup wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur -- pendudukan Israel atas wilayah-wilayah tersebut kian meningkat, sehingga dinilai sulit bagi rakyat Palestina untuk membayangkan opsi dua negara sebagai satu-satunya solusi.

Saat ini, antara 600 ribu hingga 750 ribu warga Israel atau sekitar 11 persen penduduk negara itu dilaporkan tinggal di wilayah pendudukan.

Dengan dikawal tentara Israel yang dibekali persenjataan berat, mereka menguasai sebagian besar tanah pribadi warga Palestina. Setidaknya, 12 permukiman telah dibangun di sekitar Yerusalem.

Mengingat fakta ini serta berkurangnya harapan Israel untuk menarik diri dari permukiman, sejumlah pihak menilai, sekarang adalah saatnya untuk mengedepankan pendekatan yang berbeda.

"Orang-orang telah hidup dalam realitas permukiman dan mereka melihat bahwa solusi (dua negara) tidak mungkin terwujud di lapangan. Kita harus menerima bahwa ada satu negara Zionis, kemudian kita dapat bicara cara lain untuk bertahan dengan tidak berpegang pada solusi dua negara," terang Khalifa.