Liputan6.com, Washington, DC - Pembangkit listrik berbahan bakar batubara melepaskan gas rumah kaca ke udara. Sisa pembakaran tersebut bisa menyebabkan polusi dan memicu perubahan iklim.
Akan tetapi, para peneliti telah menemukan alternatif untuk mengurangi pencemaran udara. Di Israel, ayam bisa membantu upaya pembangkitan listrik hanya dengan fesesnya.
Ilmuwan mengungkapkan, sebanyak 10 persen batubara bisa digantikan dengan limbah kotoran ayam tersebut.
Advertisement
"Kami memasukkan kotoran ayam itu ke dalam pressure cooker atau panci presto, lalu kami memanaskannya dalam suhu 250 derajat Celcius. Selama proses ini berlangsung, air rebusan bereaksi cepat dan proses kimia yang terjadi di dalam panci akan mengubah limbah organik menjadi bahan yang setara dengan batu bara," kata Profesor Amit Gross, dikutip dari VOA, Jumat (5/1/2018).
"Kalau kami memanfaatkan kotoran manusia, mungkin kita bisa mengatasi masalah sanitasi di daerah pedesaan, mengubah sampah menjadi seperti batu bara, dan menyuburkan tanah," tambah Gross.
Selain mencari pengganti bahan bakar untuk menghasilkan energi, penelitian ini juga mengumpulkan limbah dari peternakan ayam untuk dimanfaatkan dengan baik.
"Jadi, limbah ini akan diproduksi lebih banyak di sini dan kita masih perlu mencari inovasi lain. Memang belum begitu banyak yang bisa kita lakukan, kecuali mengubah kotoran ayam menjadi energi yang bisa menggantikan bahan bakar fosil," papar Vivian Mau, seorang peneliti di Universitas Ben Gurion.
Untuk jangka panjang, para peneliti berharap limbah kotoran ayam bisa membantu menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan di seluruh dunia.
Emisi Karbon Dioksida Global Meningkat
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada hari Senin, 13 November 2017, para peneliti mengatakan bahwa kenaikan emisi global utamanya disebabkan oleh pertumbuhan pembangkit listrik tenaga batubara dan konsumsi minyak dan gas di China.
Direktur Eksekutif dari "Global Carbon Project" atau Proyek Karbon Global (GCP) dan salah satu penulis studi itu, yakni Dr Pep Canadell, mengatakan, kenaikan itu kemungkinan sekitar 2 persen dari tingkat emisi CO2 tahun 2016.
"Itu membawa kita ke rekor baru yang tingginya hampir 37 miliar ton CO2 (per tahun)," kata Dr Canadell seperti dikutip dari ABC Australia Plus pada Selasa (14/11/2017).
GCP adalah sebuah kolaborasi antara organisasi sains internasional untuk memantau emisi karbon global dan sumbernya untuk membantu "memperlambat laju peningkatan gas rumah kaca di atmosfer".
Dalam makalah yang diterbitkan di 'Environmental Research Letters', para peneliti mengatakan bahwa jeda tiga tahun dalam pertumbuhan emisi disebabkan oleh peningkatan teknologi energi terbarukan dan pengurangan konsumsi batubara China.
Meskipun jeda telah diamati sebelum periode tahun 2014-2016, Dr Canadell mengatakan bahwa hal ini biasanya berkorelasi dengan kemerosotan ekonomi global selama krisis keuangan global.
"Tiga tahun terakhir, sejauh ini cukup luar biasa di keseluruhan catatan, ini adalah pertama kalinya kami melihat emisi tidak tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi global yang cukup kuat," ujarnya.
Di seluruh dunia, 21 negara, termasuk Amerika Serikat, Denmark dan Prancis, telah mengurangi emisi CO2 selama 10 tahun terakhir sementara di saat yang sama, mencapai pertumbuhan ekonomi yang positif.
Advertisement