Liputan6.com, Berlin - Rusia, pada September 2017 lalu, dilaporkan telah melakukan simulasi perang berskala besar untuk bersiap melawan Organisasi Kerja Sama Militer Atlanik Utara (NATO). Demikian klaim komandan Angkatan Bersenjata Estonia (EDF).
Dalam sebuah wawancara dengan koran ternama Jerman Bild, Komandan EDF Riho Terras mengatakan, "Harus saya jelaskan; lewat latihan militernya yang bernama Zapad 2017, Rusia telah menyimulasikan serangan militer berskala besar untuk melawan NATO." Demikian seperti dikutip dari The Independent, Senin (8/1/2018).
'Zapad' yang berarti 'Barat', digelar di sejumlah tempat di kawasan Eropa, meliputi Laut Baltik, Belarus, Rusia barat, dan Kaliningrad pada 14 - 20 September 2017 lalu.
Advertisement
Baca Juga
Merujuk keterangan resmi dari Kementerian Pertahanan Rusia, Zapad digelar sebagai latihan militer yang menyimulasikan skenario pertempuran melawan militan.
Namun, Komandan EDF Riho Terras punya pendapat yang berbeda.
"Skala dan cakupan latihan itu lebih besar dari yang diumumkan secara resmi (oleh Kemhan Rusia)," kata Terras.
Terras melanjutkan, NATO memandang Zapad 2017 sebagai sebuah potensi ancaman. Karena lewat latihan itu, Rusia telah menunjukkan kapabilitas tempur besarnya, yang, sewaktu-waktu dapat digunakan untuk melakukan serangan dadakan terhadap negara anggota NATO dalam situasi konflik.
"Latihan militer Rusia itu tidak hanya menyasar negara Baltik saja. Namun, latihan itu menyimulasikan sebuah teater pertempuran besar yang terbentang dari (Atlantik) Utara hingga ke Laut Hitam," tambah Terras.
Berskala Penuh
Alih-alih berbentuk latihan pertahanan resmi, Zapad justru digunakan oleh Rusia untuk menyimulasikan 'perang konvensional berskala penuh melawan NATO di Eropa'. Ulas sebuah tulisan yang dimuat oleh surat kabar Jerman Bild, mengutip dua analis dari dinas intelijen negara Barat.
Kemhan Rusia mengklaim sekitar 12.700 tentaranya berpartisipasi dalam Zapad 2017. Namun, Bild -- yang mengutip sumber dari dinas intelijen Barat -- mengklaim bahwa personel yang terlibat dalam latihan militer air-laut-udara itu jauh lebih banyak ketimbang klaim Kremlin.
Dua analis dinas intelijen negara Barat itu mengestimasi, ada sekitar 22.000 tentara Rusia yang terlibat dalam Zapad 2017. Sekitar 12.000 di antaranya terlibat latihan di dekat perbatasan Estonia, dan 10.000 sisanya melakukan simulasi tempur di Finlandia dan Norwegia.
Bild juga menulis, Zapad 2017 turut melaksanakan latihan militer berskema 'serangan kejutan' melawan negara-negara NATO, seperti Jerman, Belanda, dan Polandia. Negara non-NATO, seperti Swedia dan Finlandia, juga menjadi target serangan militer Rusia dalam Zapad 2017.
Zapad 2017 juga menggelar latihan tempur untuk "menetralisir atau mengendalikan medan udara dan pelabuhan" di negara-negara Baltik, serta mensimulasikan pemboman "infrastruktur penting" seperti "landasan udara, pelabuhan, dan gudang suplai energi" di Eropa barat.
Di bawah ketentuan Dokumen Wina, negara Eropa yang menggelar latihan perang dengan partisipasi personel berjumlah lebih dari 13.000 orang, wajib mengundang atase militer dari negara lain sebagai pengamat dan pengawas.
Pada Zapad 2017, Kremlin telah mengundang satu atase NATO ke Moskow dan dua lainnya ke perbatasan Rusia dekat Belarusia untuk mengobservasi sebuah skenario latihan militer.
Menyimpulkan hasil observasi latihan militer tersebut, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stottenberg terkejut dengan skala dan kapabilitas latihan tempur Zapad 2017 Rusia.
"Jumlah tentara Rusia yang berpartisipasi dalam latihan tersebut secara signifikan melampaui jumlah yang diumumkan sebelum latihan - skenarionya berbeda dan cakupan geografisnya lebih besar dari yang diumumkan sebelumnya," kata Jens Stoltenberg tahun lalu.
Advertisement
Kapal Selam Rusia Kerap Muncul di Area NATO, Operasi Intelijen?
NATO melaporkan bahwa sejumlah kapal selam Rusia tengah meningkatkan presensi dan aktivitasnya di Laut Atlantik Utara sejak beberapa waktu terakhir.
Aktivitas itu, menurut penilaian NATO, merupakan sebuah langkah agresif dari Rusia yang mampu mengganggu stabilitas di kawasan serta berpotensi memicu sejumlah masalah lain.
Meningkatnya tensi militer tinggi di kawasan -- serupa periode Perang Dingin -- dan mengancam keamanan kabel jaringan telekomunikasi vital yang berada di bawah Laut Atlantik Utara, merupakan konsekuensi dari aktivitas kapal selam Rusia itu. Demikian seperti dikutip dari The Hill, Senin 25 Desember 2017.
NATO khawatir, kabel bawah laut penyalur transmisi komunikasi dan internet untuk kawasan Eropa serta Amerika Utara itu sewaktu-waktu dapat dibajak oleh kapal selam Rusia tersebut.
"Kami melihat adanya peningkatan aktivitas kapal selam Rusia di dekat kabal bawah laut (di Atlantik Utara)," kata Komandan Gugus Tempur Kapal Selam NATO, Laksamana AL Amerika Serikat, Andrew Lennon.
"Jelas bahwa Rusia memiliki agenda di kawasan dan infrastruktur bawah laut (yang dikelola oleh) NATO," tambahnya.
Sementara itu, Inggris -- yang merupakan anggota NATO -- memperingatkan, jika Rusia berhasil membajak kabel-kabel tersebut, maka aktivitas ekonomi-perdagangan global dan transmisi intelijen rahasia negara Barat dapat diketahui atau diganggu oleh Negeri Beruang Merah.
"Dapatkah kalian membayangkan skenario di mana kabel-kabel itu diganggu atau disadap (oleh Rusia) serta berbagai dampak yang merugikan dari aktivitas tersebut?" kata Kepala Staf Senior AU Inggris, Jenderal Stuart Peach beretorika.
Aktivitas kapal selam Rusia juga berpotensi memicu tensi militer tinggi di kawasan. NATO sendiri mengumumkan akan mengaktifkan kembali Gugus Komando Militer -- yang dulu sempat dinonaktifkan ketika Perang Dingin berakhir.
Aliansi Militer Negara Atlantik Utara itu juga tengah mengembangkan strategi tempur anti-kapal selam menyusul meningkatkanya aktivitas militer Rusia di kawasan.