Sukses

Kongres AS Loloskan Resolusi Dukung Demo Iran

Kongres AS telah meloloskan resolusi baru, yang diproduksi sebagai bentuk dukungan terhadap rangkaian demonstrasi di Iran.

Liputan6.com, Washington, DC - Kongres Amerika Serikat (US House of Representative) telah meloloskan resolusi baru, yang diproduksi sebagai bentuk dukungan terhadap rangkaian demonstrasi di Iran yang pecah pada 28 Desember 2017 lalu.

Resolusi itu menyatakan bahwa Kongres AS mendukung hak kebebasan berekspresi bagi warga Iran, termasuk salah satunya untuk menggelar aksi protes. Demikian seperti dikutip dari VOA, Rabu (10/1/2018).

Dokumen tersebut juga mengutuk pemerintahan Negeri Para Mullah yang melakukan tindakan keras -- dengan tendensi abuse of power -- dalam meredakan situasi yang memanas akibat demonstrasi itu.

Kongres Amerika Serikat meloloskan resolusi itu dengan mekanisme pemungutan suara. Hasilnya, 415 anggota kongres mendukung resolusi dan hanya dua yang menolak.

"Dengan lolosnya resolusi ini, kami menyatakan bahwa Amerika Serikat mendukung warga Iran," kata Ketua Komisi Luar Negeri Kongres AS, Ed Royce.

 

2 dari 3 halaman

Menjelang Voting Kongres AS Terkait Kesepakatan Nuklir Iran

Pemungutan suara soal resolusi itu dilakukan beberapa hari menjelang gelaran voting Kongres Amerika Serikat terkait Pakta Kesepakatan Nuklir Iran.

Gelaran voting dilakukan guna menanggapi keputusan Presiden AS Donald Trump yang tak ingin berkomitmen pada pakta yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

JCPOA merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan sejumlah pihak yang terdiri dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS), Jerman, dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran sepakat terhadap sejumlah hal, salah satunya adalah pengurangan stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut.

Pakta itu memiliki mekanisme pengawasan rutin. Secara berkala, yakni per-90 hari, para negara anggota akan memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran setelah melakukan peninjauan.

Terakhir kali, AS memberikan sertifikasi kepatuhan kepada Iran pada Juli 2017. Sementara negara JCPOA lain tetap rutin memberikan sertifikasi.

"Presiden (Trump) dan pemerintah benar-benar berkomitmen untuk terus memberikan dan semakin menambah bobot sanksi ekonomi AS terhadap Iran," kata Wakil Presiden Mike Pence, menanggapi pertanyaan seputar JCPOA pekan lalu.

"Sekarang, kami (pemerintah AS) juga bekerja sama dengan Kongres AS untuk mencapai kesepakatan, syarat, dan sanksi baru terhadap Iran untuk ke depannya," tambah Pence.

Kendati demikian, anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Brad Sherman, mengatakan lembaganya masih terpecah soal JCPOA -- meski pada voting soal demo di Iran, sebagian besar anggota kongres satu suara.

3 dari 3 halaman

Donald Trump Memanfaatkan Demo Iran untuk Merombak JCPOA

Belakangan muncul dugaan, Donald Trump sengaja memanfaatkan momentum demonstrasi berdarah di Iran sebagai "kartu as" untuk menghentikan penilaian sertifikasi kepatuhan Teheran terhadap "Kesepakatan Nuklir Iran" (JCPOA). Demikian seperti dikutip dari CNN.

Dan pada pertengahan Januari 2018 ini, Trump -- sesuai mandat JCPOA -- harus segera memberikan sertifikasi.

Akan tetapi, diprediksi, dengan memanfaatkan momentum demo berdarah di Iran, Presiden AS itu tak akan memberikan sertifikasi tersebut, atau bahkan, membuat Negeri Paman Sam meninggalkan pakta itu.

Pada Oktober 2017 lalu, Trump pernah mengatakan, "Kami tidak akan terus menyusuri jalan yang justru akan lebih banyak menimbulkan kekacauan dan ancaman nyata terhadap isu nuklir Iran," ujar Trump dalam sebuah pidato di Gedung Putih.

Sementara itu, Uni Eropa menyerukan agar insiden protes di Iran tak dicampuradukkan dengan kesepakatan nuklir yang telah dihasilkan. Meski demikian, pihak Brussels melayangkan kritik keras pada rezim Teheran.

Hal senada diungkap Presiden Prancis Emmanuel Macron. "Memutuskan kesepakatan nuklir justru akan mengarah pada risiko penguatan kaum ekstremis," kata dia, seperti dikutip dari Politico.

Video Terkini