Sukses

UNICEF: Puluhan Ribu Anak Rohingya Hidup dalam Kondisi Mirip Bui

Penasihat senior UNICEF, Marixie Mercado belum lama ini kembali dari kunjungan ke Myanmar.

Liputan6.com, Rakhine - Badan PBB untuk kesejahteraan anak UNICEF melaporkan puluhan ribu anak Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, hidup dalam kondisi mirip terpenjara yang sangat menyedihkan.

Lebih dari 650 ribu warga Rohingya telah lari ke Cox’s Bazaar, Bangladesh, sejak akhir Agustus 2017 untuk menyingkir dari kekerasan dan persekusi di negara bagian Rakhine. Sekitar separuh dari mereka adalah anak-anak. Demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (12/1/2018).

Penasihat senior UNICEF, Marixie Mercado belum lama ini kembali dari kunjungan ke Myanmar. Ia mengatakan, sulit untuk memperoleh gambaran sebenarnya mengenai anak-anak yang masih berada di sana, karena tidak adanya akses.

Namun, ia dapat memperoleh yang disebutnya pandangan sekilas yang merisaukan mengenai betapa menyedihkan kehidupan anak-anak yang tinggal di Rakhine Tengah.

Mercado mengatakan, lebih dari 60 ribu anak Rohingya masih berada di negara bagian Rakhine, hampir terlupakan dan terjebak dalam 23 kamp tempat mereka mengungsi akibat kekerasan tahun 2012. Mercado menggambarkan kondisi di dua kamp yang dikunjunginya.

"Kedua kamp berada di wilayah yang terletak di bawah permukaan laut. Hampir tidak ada pohon sama sekali. Hal pertama yang menyambut kita di kamp adalah bau yang menyengat yang membuat kita merasa mual," ujar Mercado.

"Bagian-bagian kamp merupakan genangan air limbah. Kemah disangga tiang-tiang, dan di bawahnya adalah sampah dan kotoran manusia. Di satu kamp, kolam tempat orang mengambil air hanya dipisahkan dari genangan air limbah dengan tanggul dari tanah," tambahnya.

Mercado juga mengatakan, anak-anak berjalan tanpa alas kaki di tanah becek dan sebagian dari mereka telah meninggal karena kecelakaan atau penyakit.

Ditambahkan, sangat sulit bagi warga Rohingya itu untuk meninggalkan kamp untuk mendapat perawatan medis. Karena itu, orang minta bantuan tabib tradisional, penyedia layanan kesehatan yang tidak terlatih, atau mengobati diri sendiri.

Menurut Mercado kondisi kehidupan dan akses ke layanan yang menyelamatkan jiwa sangat perlu ditingkatkan. Ditambahkan, anak-anak juga tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak.

Mercado menyebut, pembelajaran dilakukan di ruang-ruang kelas sementara yang tidak diperlengkapi dengan layak, diajar oleh guru-guru relawan yang memiliki rasa pengabdian kuat tetapi tidak memiliki pelatihan formal.

 

2 dari 2 halaman

Anak-Anak Rohingya Menjadi Saksi 'Neraka di Bumi'

Badan PBB untuk Urusan Anak (UNICEF) menyatakan, mayoritas Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar adalah anak dibawah umur. Saat ini total jumlah pengungsi sudah mencapai 600 ribu orang.

Dikutip dari laman VOA Indonesia, bahkan UNICEF menyebut anak-anak pengungsi Rohingya telah menyaksikan 'neraka di Bumi', dalam arti yang sesungguhnya.

Badan PBB juga mengeluarkan laporan tentang nasib anak-anak Rohingya yang jumlahnya mencapai 58 persen dari pengungsi yang mengalir ke Cox’s Bazar di Bangladesh selama delapan pekan terakhir.

Dalam laporan yang ditulis oleh seorang reporter bernama Simon Ingram, satu dari lima anak di sana mengalami kekurangan gizi akut.

Laporan itu dikeluarkan menjelang konferensi donor di Jenewa, yang akan diselenggarakan pada 23 Oktober 2017. Tujuannya untuk menggalang bantuan dana internasional bagi pengungsi Rohingya.

"Banyak pengungsi anak Rohingya di Bangladesh telah menyaksikan berbagai kekejaman di Myanmar yang seharusnya tidak mereka pernah lihat dan mereka sudah sangat menderita" kata Direktur Eksekutif UNICEF, Anthony Lake.

Mereka sekarang membutuhkan air bersih, makanan, sanitasi, tempat berteduh dan vaksin untuk mencegah kemungkinan munculnya wabah Kolera yang menyebar dari air yang kurang bersih.

Lembaga kemanusiaan PBB memerlukan 434 juta dolar untuk pengungsi Rohingya.