Liputan6.com, Tunis - Kepolisian Tunisia menahan 328 orang setelah mereka menggelar protes anti-austeritas atau pengetatan anggaran yang digelar selama empat hari empat malam. Pernyataan tersebut disampaikan oleh juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Mayor Khelifa Chibani kepada kantor berita TAP pada 11 Januari 2018.
Sejak unjuk rasa itu digelar pada 7 Januari 2018, setidaknya satu orang tewas. Protes itu ditujukan karena pemerintah memberlakukan kenaikan harga dan pajak pertambahan nilai (PPN) per 1 Januari 2018.
Dikutip dari CNN, Jumat (12/1/2018), unjuk rasa itu pertama kali pecah di ibu kota Tunisia, Tunis, dan diikuti dengan demonstrasi lain di seluruh negeri.
Advertisement
Baca Juga
Sebuah sinagoge juga diserang dengan bom molotov pada Selasa, 9 Januari. Pihak berwenang pun menyebut tindakan vandalisme itu terkait dengan demonstrasi tersebut.
Kepada TAP, aksi vandalisme dan penjarahan telah berkurang signifikan pada Rabu, 10 Januari malam, setelah aparat keamanan dikerahkan di seluruh negeri. Polisi juga melakukan penangkapan kepada mereka yang disebut pembuat masalah dan onar yang terkait aksi penjarahan dan pencurian.
Menurut Chibani, 21 petugas keamanan terluka dan puluhan kendaraan polisi Tunisia rusak saat melakukan pengamanan.
PM Tunisia Tuding Partai Oposisi Ada di Balik Unjuk Rasa
Pada Rabu, Perdana Menteri Tunisia Youssef Chahed mengunjungi salah satu area yang terdampak. Ia pun mengatakan bahwa partai oposisi, Popular Front, berada di balik unjuk rasa itu.
Sementara itu, Popular Front telah menyerukan demonstrasi damai untuk membatalkan Undang-Undang Keuangan.
Gerakan pemuda anti-austeritas bernama Fexh Nastannow, telah menyerukan diadakannya demonstrasi nasional pada Jumat, 12 Januari 2018. Termasuk yang digelar besar-besaran di Tunis.
"Nada pemerintah seperti rezim sebelumnya. Alih-alih mendengarkan kami, pemerintah mengkriminalisasi kami dan memperlakukan kami seolah-olah kami pengacau dan pencuri," ujar anggoata pendiri gerakan tersebut, Henda Chennaoui.
Advertisement
Pemerintah Harus Lakukan Tindakan Nyata
Kesengsaraan ekonomi, sejumlah serangan teror, dan ekstremisme membuat pemulihan di negara-negara Afrika Utara, termasuk Tunisia, menjadi lambat usai terjadinya Arab Spring.
Dosen senior politik Timur Tengah di University of Exeter, Dr Lise Storm, mengatakan bahwa banyak orang menderita dan pemerintah harus memberikan tindakan nyata.
"Apa yang diprotes mereka adalah sesuatu yang menyakitkan tapi perlu terjadi. Tunisia benar-benar membutuhkan reformasi ekonomi yang menyakitkan," ujar Storm.