Liputan6.com, Teheran - Presiden Iran, Hassan Rouhani, menyindir Donald Trump yang tidak segera melanjutkan pembicaraan tentang kesepakatan nuklir Iran yang dijanjikannya sejak masa kampanye 2016 lalu.
Pada Jumat 12 Januari 2018 lalu, Donald Trump memerintahkan penangguhan sementara keringanan sanksi terhadap program nuklir Iran.
Advertisement
Baca Juga
Oleh Iran, hal tersebut dianggap menyalahi kewajiban Amerika Serikat (AS) untuk menandatangani pemberian keringanan sanksi di bawah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), yakni sebuah kesepakatan yang diteken pada 2015 tentang kewajiban Iran membatasi pembangunan program nuklir dengan imbalan keringanan sanksi dari AS.
Dikutip dari CNN pada Senin (15/1/2018), meski berupaya menjaga kesepakatan tersebut tetap utuh, Donald Trump justru memicu kemarahan di Teheran terkait pengumuman baru tentang pemisahan sanksi terhadap 14 individu dan entitas di satu waktu. Salah satu individu penting yang terkena imbas kebijakan sepihak tersebut adalah Kepala Pengadilan Tinggi Iran, Ayatollah Sadeq Amoli Larijani.
"Sudah lebih dari setahun lamanya Trump berusaha 'membunuh' kesepakatan JCPOA, dan hal tersebut tidak pernah berhasil. Ini menandakan kemenangan hukum terhadap kediktatoran," ujar Rouhani menanggapi berbagai manuver politik AS terhadap kesepakatan tentang program nuklir Iran.
Sindiran Rouhani merupakan bentuk lanjutan perseteruan antara Trump dan pemerintahan Trump terkait kesepakatan nuklir, dan berhubungan dengan protes anti pemerintah yang meluas di negeri kelahiran budaya Persia itu.
Pemerintah AS Ingin Mengatur Ulang Kesepakatan Nuklir Iran
Beberapa sanksi terbaru AS sendiri merupakan bentuk tanggapan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Iran terhadap demonstrasi besar-besaran yang berjalan damai. Adapun sanksi lainnya berkaitan dengan dukungan program rudal balistik nasional, yang berada di luar lingkup kesepakatan nuklir.
Dalam sebuah keputusan tidak biasa, pemerintah AS mengindikasikan keinginan untuk menyusun ulang tentang kesepakatan nuklir, dan mendapatkan sekutu negara-negara Eropa yang mendukung putusan terkait.
Kesepakatan keringanan sanksi terhadap program nuklir Iran ditekan pada masa pemerintahan Obama di 2015 lalu, dan didukung penuh oleh Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan China.
Advertisement
Trump Berada di Bawah Banyak Tekanan
Iran mengecam keras keputusan sanksi baru yang dikeluarkan oleh AS. Menteri Luar Negeri Iran menyebut pemerintahan Trump 'melakukan praktik ilegal' yang berpotensi memicu permusuhan. Pernyataan keras ini merujuk pada keputusan sanksi AS terhadap Kepala Pengadilan Tinggi Iran, Ayatollah Sadeq Amoli Larijani, yang dinilai melampaui garis batas toleransi yang disepakati secara internasional.
Trump, yang selama masa kampanye menyebut pakta Iran sebagai 'kesepakatan terburuk dalam sejarah', tengah mengalami tekanan untuk memenuhi janji-janji yang pernah diucapnya kepada Iran. Namun di sisi lain, Trump juga mengalami tekanan kuat dari negara-negara Eropa untuk mempertahankan kesepakatan nuklir terkait.
Terkait dengan demo anti-pemerintah Iran, secara terbuka Trump mendukung aksi protes tersebut, yang merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah Iran sejak 2009. Departemen Luar Negeri AS bahkan turut mendorong warga Iran untuk tidak ragu turut serta dalam aksi protes terkait.
Sanksi-sanksi baru AS tersebut merupakan cara Trump untuk tetap menekan Iran tanpa membahayakan kesepakatan program nuklir yang telah diteken.
Hal tersebut juga menjadi tanggapan konkret pihak internasional terhadap perlakukan pemerintah Iran kepada demonstran.
Salah seorang anggota parlemen Iran menyebut sebanyak kurang lebih 3.700 orang ditahan selama aksi perotes berlangsung. Namun laporan otoritas setempat justru menyebut demonstran yang ditahan jauh dibawah jumlah tersebut, yakni tidak lebih dari 450 orang.