Liputan6.com, Manila - Palemen Filipina pada hari Selasa, 16 Januari 2017, menggodok perubahan sistem pemerintahan dari republik menjadi federal.
Ini berarti, akan ada perubahan besar pada konstitusi berusia 30 tahun itu dan pemenuhan janji kampanye Presiden Rodrigo Duterte.
Baca Juga
Peralihan ke sistem federal adalah salah satu realisasi kampanye Duterte pada tahun lalu.
Advertisement
Ia ingin memperbaiki kelalaian yang terjadi dalam sistem pemerintahan terpusat di Manila, sehingga menurutnya, sistem inilah yang membuat kemiskinan merajalela di berbagai provinsi.
Anggota parlemen pendukung Duterte juga mendukung sistem federal, karena mereka menginginkan konstitusi memperluas peran legislatif, memperpanjang masa kerja anggota parlemen, meningkatkan otonomi daerah di bidang fiskal, menjadikan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, dan pemilihan presiden dilakukan terpisah.
Sistem pemerintahan federal Filipina nantinya juga membolehkan presiden menduduki jabatannya selama dua periode.
Meski demikian, anggota parlemen belum memutuskan model federal yang akan diadopsi Filipina, tapi Duterte menginginkan sistem yang sama seperti Prancis.
Rencana perubahan sistem pemerintahan tersebut telah disetujui dan rancangan amandemen diperkirakan rampung pada akhir tahun ini. Sedangkan referendum akan digelar pada Mei 2019.
Kepala panel parlemen, Roger Mercado, mengatakan bahwa perwakilan anggota parlemen bekerja sesuai aturan untuk melakukan pemungutan suara dan menyetujui resolusi pada minggu ini, yang akan merubah parlemen dan Kongres menjadi majelis konstitusional.
"Jangan sia-siakan uang dan waktu rakyat. Mari kita lanjutkan (sistem federal) dan bersiap untuk perubahan," tutur Mercado dalam persidangan, seperti dikutip dari Manila Bulletin, Selasa (16/1/2108).
Ia menambahkan, pembuatan konvensi khusus untuk konstitusi baru akan menelan biaya 11 miliar peso atau US$ 218 juta, setara dengan sekitar Rp 2,9 triliun.
Â
Â
Â
Â
Ditentang Oposisi dan Rakyatnya
Meski demikian, tidak semua anggota parlemen mendukung ide Duterte yang menginginkan sistem federal diberlakukan di Filipina.
Pihak oposisi menentang penggabungan Kongres dan parlemen untuk merancang amandemen.
Mereka mencurigai perubahan amandemen ini adalah upaya untuk membuat Duterte berkuasa lebih lama, atau sebagai jalan untuk mempertahankannya sebagai pemimpin Filipina pada periode berikutnya, yakni 2022.
Selain itu, oposisi memperingatkan bahwa perubahan ini dapat mengulangi era diktator Ferdinand Marcos pada 1970-an.
Pernyataan Duterte yang memuja Marcos juga memunculkan stigma negatif rakyat Filipina, ia dianggap sama otoriternya dengan Marcos.
Opososi berpendapat, Konstitusi 1987 sengaja dibentuk untuk menghentikan rezim otoriter pada zaman itu.
Sebelumnya, Rodrigo Duterte telah membuat pernyataan bahwa ia tidak berminat untuk memperpanjang masa jabatannya. Apabila terjadi, maka ia lebih memilih untuk pensiun dini.
Â
Advertisement