Liputan6.com, Beijing - Sepanjang 2017 lalu, China dilaporkan mengalami penurunan angka kelahiran hingga 3,5 persen, meski negara itu telah membolehkan keluarga memiliki dua anak.
Dilansir dari laman ABC Online, Biro Statistik Nasional menyebut ada 17,2 juta kelahiran di China tahun lalu, turun dari 17,9 juta kelahiran pada 2016.
Advertisement
Seperti kebanyakan negara dengan ekonomi maju, China juga mengalami tren piramida terbalik pada komposisi penduduknya dalam 10 tahun terakhir, yakni cenderung lebih banyak manula dibandingkan kelompok usia muda.
Melihat hal tersebut, pemerintah China pun mengubah kebijakan satu keluarga satu anak pada 2015, dengan harapan akan membalikkan tren populasi manula.
Angka kelahiran naik hampir 8 persen pada 2016, dan hampir setengah jumlah bayi dilahirkan oleh pasangan yang sudah memiliki anak.
Akan tetapi, kenaikan itu tampaknya terjadi sesaat. Saat ini, justru lebih banyakan pasangan di China memutuskan menikah di usia matang, dan merencanakan sedikit jumlah anak. Bahkan, beberapa di antaranya berkomitmen untuk tidak memiliki anak sama sekali.
Pelonggaran Kebijakan Satu Anak di China Masih Belum Efektif
Di Beijing, menurut sebuah survei pada 2017, diketahui hanya 30.000 pasangan yang mengambil formulir untuk memiliki anak kedua. Hal tersebut jauh dari estimasi pemerintah, yaitu 50.000 pasangan.
Situasi yang sama terjadi di Kota Shanghai dan Shenzen. Kebanyakan orangtua di China menolak memiliki anak lagi karena faktor keuangan.
"Membesarkan satu anak sudah membuat pengeluaran banyak, apalagi dua," ungkap seorang ayah yang memiliki anak perempuan berusia tiga tahun yang enggan disebut identitasnya.
Menurut sosiolog dari Peking University, Lu Jiehua, kebijakan baru ini akan berdampak pada 100 juta pasangan. China adalah negara dengan penduduk berjumlah 1,3 miliar, memperlakukan kebijakan satu anak untuk mengontrol pertumbuhan populasi pada 1970-an.
Kebijakan tersebut banyak sekali kegagalannya. Pemerintah lokal banyak yang melakukan aborsi paksa, denda besar, hingga pemaksaan sterilisasi.
Akan tetapi, sejalan dengan kebijakan itu, ketidakstabilan antara usia produktif dan nonproduktif semakin tajam. Oleh sebab itu, semenjak awal 2015, pemerintah meramu strategi dengan menghapus kebijakan tersebut.
Advertisement