Sukses

Keruk Harta Indonesia, Perusahaan Ini Jadi yang Terkaya di Bumi

Aset perusahaan ini lebih besar dari milik Google, Facebook, Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil jadi satu. Ada kaitannya dengan Indonesia.

Liputan6.com, Amsterdam - Bukan Apple atau Microsoft yang berhak menyandang status perusahaan paling kaya sepanjang sejarah. Bukan pula perusahaan minyak seperti Saudi Aramco, ExxonMobil, atau PetroChina. 

Pada 1602, sebuah serikat dagang didirikan di Belanda. Ia kemudian menjelma jadi yang terbesar di muka Bumi. Pada puncak kejayaannya, perusahaan tersebut mengerahkan armada kapal "fluyt" yang melayani lebih dari separuh pengiriman kargo di seluruh dunia.

Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), namanya tidak hanya memainkan peran kunci dalam sejarah Belanda, tapi juga negara-negara lain yang terlibat dengannya: Inggris, Prancis, Spanyol, Portugal di Eropa; sejumlah kerajaan, kesultanan, dan kekaisaran di sepanjang pantai di Asia, hingga ke Jepang dan China; sebagian wilayah pesisir India, Semenanjung Malaya, dan wilayah yang saat ini dikenal sebagai Indonesia.

Seperti dikutip dari DutchReview.com, Selasa (23/1/2018), jika dibandingkan pengiriman barang yang dilakukan perusahaan raksasa Amazon, misalnya, VOC jauh lebih sibuk.

Dari markas, Oost-Indisch Huis yang terletak di pusat Kota Amsterdam, perintah datang untuk mengirimkan lebih dari 1 juta penjelajah ke Asia. Jumlahnya lebih dari gabungan seluruh pelaut yang dikirimkan negara Eropa lainnya.

Kala itu, perjalanan laut dari Amsterdam ke Batavia (Jakarta) minimal memakan waktu tempuh 8 sampai 10 bulan. Banyak kapal dan manusia yang tak pernah kembali.

Sejumlah bahtera terhempas badai, jadi target serangan bajak laut, atau orang-orang di dalamnya meninggal karena penyakit menular dan mematikan.

Bepergian kala itu risikonya sangat tinggi. Nyawa jadi taruhan. Namun, sekali lokasi yang tepat ditemukan, ditambah pengetahuan dan pendekatan yang benar, pundi-pundi harta di depan mata.

VOC juga menjadi perusahaan pertama yang secara resmi mengeluarkan saham, yang mencapai puncaknya pada "Tulip Mania" atau demam tulip yang akhirnya bikin perekonomian Kerajaan Belanda morat-marit.

Kegilaan pada bunga itu menjadi kasus nyata "financial bubble" atau gelembung ekonomi pertama di dunia. Ketika harga aset menyimpang sangat jauh dari nilai-nilai intrinsiknya.

 

Saham VOC meningkatkan kekayaan perusahaan menjadi 78 juta gulden Belanda. Jika disamakan dengan nilai dolar Amerika Serikat saat ini, maka nilainya setara dengan US$ 7.900 miliar!

2 dari 3 halaman

Rempah Jadi Sumber Harta

Pada masa kejayaannya, nilai VOC setara dengan Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo jadi satu.

Atau jumlah yang setara dengan produk domestik bruto (PDB) Jepang dan Jerman digabungkan. Itu berarti kongsi dagang itu adalah perusahaan paling kaya dalam sejarah.

VOC juga mempekerjakan 70 ribu orang di seluruh dunia. Empat abad lalu, ia sudah jadi perusahaan multinasional.

VOC berperan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi Belanda. Selain itu, VOC punya andil menciptakan konektivitas dan masyarakat yang lebih multikultural di dunia.

Di sisi lain, keberadaannya membawa penderitaan tak terperi bagi banyak orang demi melindungi aset dan memastikan keuntungan tetap tinggi.

Sejumlah praktik kejam dilakukan, dari perdagangan budak, penindasan kolonial, dan perlakuan buruk yang tidak masuk akal terhadap para pekerjanya.

VOC diperkirakan mengangkut sekitar 50 ribu orang dari Afrika untuk dijadikan budak di sejumlah koloninya.

Salah satu sumber pundi-pundi harta VOC berasal dari wilayah Hindia Belanda -- cikal bakal Indonesia -- yang dijajahnya.

Pada 1595, terpikat oleh rempah-rempah yang sangat langka -- satu kantong rempah bisa membeli kawanan ternak --  kapal-kapal Belanda berlayar ke selatan ke Afrika, lalu ke timur mengelilingi Tanjung Harapan, lalu ke Samudra Hindia, dan tiba di Pulau Jawa.

Dalam ekspedisi pertama itu, hanya sedikit muatan dibawa pulang, dua per tiga awak kapal meninggal dunia. Namun, pesona rempah-rempah dan kekhawatiran kalah dari negara lain -- terutama Portugis -- membuat Belanda mengenyampingkan bahaya.

Pada tahun 1601 saja, perusahaan Belanda mengirim 65 kapal ke Timur Jauh untuk mencari cengkih, pala, kayu manis, jahe, dan kunyit.

"Pada saat rempah-rempah sampai di Eropa," tulis Stephen Bown dalam Merchant Kings, seperti dikutip dari PBS. "Apa yang bisa dipertukarkan dengan sebakul nasi (di Indonesia) ... dihargai mahal dengan perak."

Awalnya VOC mendapat hak berdagang dari Kesultanan Banten, mengingat pelabuhan di sana merupakan salah satu bandar rempah terbesar di Asia Tenggara, selain Malaka.

Selain karena ingin menghindari Portugis, dipilihnya pelabuhan Banten untuk tempat berdagang VOC juga dipengaruhi oleh jarak tempuh yang lebih dekat dari Maluku.

Akan tetapi, tidak lama setelah mendapat hak dagang terkait, Gubernur Jenderal VOC pertama, Pieter Both, memilih sebuah bandar kecil di timur Kesultanan Banten sebagai pusat administrasinya. Bandar kecil itu bernama Jayakarta, dan kemudian dibangun oleh VOC menjadi sebuah kota bernama Batavia. Beberapa puluhan tahun kemudian, Batavia pun menjelma menjadi kota dagang besar dengan benteng dan pelabuhan. 

3 dari 3 halaman

Menjajah Indonesia

Jan Pieterszoon Coen dikenal sebagai Gubernur VOC yang kejam. Ia adalah seorang akuntan kasar, sombong, yang menjejakkan kaki di Batavia pada tahun 1614. Usianya kala itu masih 28 tahun.

Seperti dikutip dari PBS, perdagangan rempah-rempah, menurut Coen, sangat penting bagi kepentingan nasional Belanda. Dengan dalih itu, ia mengizinkan dirinya melakukan tindakan apa pun untuk mengamankan monopoli VOC dan memperketat penguasaannya atas pulau-pulau di Indonesia. Perilaku kejam sekali pun. 

Apalagi, kala itu, Nusantara adalah satu-satunya wilayah di dunia di mana cengkih dan pala tumbuh.

Ia bahkan mendapat julukan "Ijzeren Jan" atau "Jan Besi", karena kebengisannya.

Coen menangkap, menyiksa, dan membunuh orang-orang Indonesia, terutama mereka yang tak mau memutuskan hubungan dagang yang sudah berlangsung lama dengan pedagang China dan India.

VOC, di bawah Coen, mempekerjakan tentara bayaran untuk meneror lawan, membakar, atau menghancurkan ladang rempah-rempah yang tidak berada di bawah kendali mereka. Tujuannya agar suplai barang berkurang dan harga naik tinggi. 

Coen juga memburu para pedagang Portugis dan Inggris, menyiksa atau membunuh saingannya, dan menghancurkan benteng mereka. Pada tahun 1605, VOC mengusir Portugis dari Nusantara.

Kekejaman Coen tidak hanya berlaku pada lawan bisnisnya. Ia, yang merasa sebagai penjaga moral, tega menyiksa anak asuhnya, Sarah, yang ketahuan terlibat hubungan asrama dengan seorang pelaut. Sang kelasi dihukum mati.

 

Tidak sampai di situ, JP Coen juga merebut paksa pulau-pulau penghasil rempah penting di Maluku. Salah satu catatan kelam yang terus diingat oleh penduduk Maluku adalah ketika JP Coen menghabisi hampir 80 persen warga Pulau Banda. Hal itu ia lakukan demi ambisi menguasai pulau-pulau penghasil pala, jenis rempah yang paling berharga saat itu.

Tak dimungkiri, pria berjuluk Mur Jangkung itu kejam bukan kepalang. Namun di bawah kepemimpinannya, VOC mengalami masa gilang gemilang. 

"Di bawah arahan manusia seperti Coen," tulis Stephen Bown dalam Merchant Kings. "VOC pada akhir abad ke-17 menjadi perusahaan terkuat dan terkaya di dunia ... Usahanya terdiri atas konstruksi, penyulingan gula, pembuatan kain, pengolahan tembakau, tenun, pembuatan kaca, penyulingan, pembuatan bir...."

Bown menambahkan, diperkirakan bahwa tiga perempat muatan kapal kargo kala itu dikelola VOC. 

"Dengan keuntungan yang dihasilkan VOC, Belanda memasuki masa keemasan, yang memungkinkan orang-orang genius seperti Rembrandt, Vermeer, Descartes, dan Antonie van Leeuwenhoek -- Bapak Mikrobiologi -- untuk bermunculan," tambah Bown.