Liputan6.com, London - Sepanjang tahun 2017 lalu, telah banyak ramalan yang menyebut bahwa bencana setaraf kiamat dan akhir dunia akan terjadi pada tahun itu.
Salah satu yang paling ternama misalnya, teori bencana dahsyat Planet Nibiru, planet raksasa yang akan menabrak Bumi dan menghancurkan peradaban manusia, seperti yang dicetuskan oleh David Meade.
Namun, terlepas dari klaim Meade, kehidupan di Bumi tetap berlanjut, dan peradaban manusia tak jadi punah akibat dihantam oleh Planet Nibiru -- yang kini, eksistensi planet itu kian terasa fiktif seiring berjalannya waktu.
Advertisement
Kini tahun telah berganti, tapi, klaim kiamat semacam yang dicetuskan Meade tetap saja tersiar luas.
Salah satu teori kiamat yang muncul pada tahun 2018 ini, dicetuskan oleh seorang pegiat narasi konspirasi bernama Mathieu Jean-Marc Joseph Rodrigue.
Rodrigue mendasari teorinya dari salah satu kitab suci tertua di dunia, yakni Injil.
Baca Juga
Dan, berdasarkan interpretasi Rodrigue terhadap salah satu ayat bab dalam kitab tersebut, kiamat diprediksi akan terjadi pada pertangahan tahun 2018 ini. Demikian seperti dikutip dari Daily Star (29/1/2018).
Rodrigue menyoroti sebuah ayat dalam Kitab Wahyu di Injil sebagai tanda bahwa 2018 bisa menjadi tahun terakhir Bumi.
Ayat yang disorot oleh Rodrigue berbunyi, "Dia diberi wewenang untuk bertindak selama 42 bulan."
Rodrigue kemudian membenturkan masa waktu 42 bulan itu dengan periode panen ladang dan transaksi penjualan hasil panen pertanian. Atas dasar apa ia membenturkan angkat itu dengan hal seputar panen, tak dijelaskan lebih detail.
Tak berhenti di situ, Rodrigue kemudian melanjurkan, "Saya mendengar suara di tengah empat makhluk hidup. Itu merupakan suatu kebijaksanaan. Mereka yang memiliki kecerdasan bisa menafsirkan sosok binatang itu, yang mewakili nama seorang pria yang direpresentasikan dengan angka 666".
Kemudian, Rodrigue mengambil angka 666 itu dan memasukannya ke dalam sebuah operasi aritmatika bersama dengan angka 42 yang telah ia sebutkan sebelumnya. Tak dijelaskan pula operasi aritmatika seperti apa yang digunakan oleh Rodrigue.
Hasilnya, voila! Rodrigue mengindikasikan tanggal 24 Juni 2018 sebagai akhir dari dunia.
Kendati demikian, Rodrigue tak menjelaskan bagaimana proses kehancuran dunia akan berlangsung -- tak seperti David Meade yang tak hanya menetapkan tanggal (24 September 2017 menurut klaim Meade), namun juga menggambarkan proses kehancuran Bumi dalam teori Planet Nibirunya.
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) telah berkali-kali membantah teori yang dicetuskan oleh Meade. Pada September 2017 lalu, NASA mengatakan 'jika ada planet raksasa yang akan menghampiri Bumi dalam waktu dekat, maka seharusnya sudah sangat jelas terlihat sekarang ini'
Mungkin, skeptisisme serupa akan diutarakan oleh NASA terhadap teori kiamat Rodrigue yang baru diutarakannya.
Bukan Planet Nibiru, Ini 2 Teori 'Kiamat' yang Berpotensi Terjadi
Baru-baru ini, sebuah prediksi tentang akhir zaman kembali muncul. Para pencetus teori konspirasi dan pegelut ilmu semu (pseudoscience) mengklaim bahwa pada 19 November lalu, benda angkasa luar sebesar planet bernama Nibiru akan menghantam dan menghancurkan Bumi.
Pada kenyataannya, Bumi masih berputar hingga hari ini. Dan berbagai lembaga, seperti Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), terus konsisten membantah eksistensi planet Nibiru tersebut beserta teori kiamat yang menyertainya.
Meski begitu, narasi dan diskursus tentang kiamat atau bencana besar selalu tak lekang dari proses komunikasi maupun interaksi sekelompok manusia.
Beberapa bahkan memiliki pandangan yang lebih "realistis" tentang bencana tersebut, mengasosiasikannya dengan tensi geopolitik dan militer dunia yang tengah hangat pada masa kini atau berbagai gejala alam jauh yang lebih potensial, ketimbang Planet Nibiru.
Dari berbagai contoh, berikut dua skenario yang dianggap sebagai kejadian yang paling berpotensi memicu kiamat atau setidaknya bencana besar, seperti yang Liputan6.com rangkum dari Newsweek, Senin 20 November 2017.
Advertisement
1. Yellowstone Supervolcano
Gunung berapi di taman nasional Yellowstone, Amerika Serikat, secara periodik kerap menjadi subjek narasi kiamat dalam berbagai berita atau kisah.
Ketika ditanya mengenai kepopuleran Yellowstone dalam narasi kiamat, ahli geologi Christy Till mengatakan kepada Newsweek bahwa, "Kecenderungan itu berasal dari frekuensi gempa yang sering terjadi di Yellowstone. Meski begitu, klaim tentang gunung berapi di sana justru sulit untuk dipahami."
Meski begitu, beberapa ilmuwan lain tak senada dengan Till. Ada yang menyebut bahwa teori Yellowstone Supervolcano mungkin masih relevan. Apa lagi mengingat, sempat terjadi erupsi dahsyat di kawasan tersebut pada masa prasejarah.
Dan, ketakutan akan konsekuensi dari erupsi dahsyat--yang meliputi selimut abu yang bisa membahayakan kehidupan di Bumi--jika peristiwa seperti itu benar terjadi, membuat teori tersebut sangat menakutkan.
Kendati demikian, jika dan ketika teori itu semakin mendekati kenyataan, kemungkinan besar United States Geological Society (USGS), lembaga yang memonitori Yellowstone, akan membuat early warning system bagi seluruh masyarakat yang mungkin akan terdampak atas bencana tersebut.
2. Perang Nuklir
Keyakinan akan potensi perang nuklir besar telah diwariskan oleh peradaban manusia modern secara turun-temurun selama beberapa lintas generasi yang dimulai sejak Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Potensi itu kian di ambang pintu ketika Krisis Rudal Kuba 1962 terjadi pada masa Perang Dingin AS-Uni Soviet. Kala itu kedua negara blok kekuatan dunia itu secara harafiah saling berhadap-hadapan menghantarkan misil nuklir mereka sangat dekat dengan satu sama lain.
Namun, beberapa dekade berlalu, paranoid perang nuklir masih terus bertahan hingga kini. Apalagi sejak kemunculan negara seperti Korea Utara yang secara agresif nan provokatif mengklaim akan meluncurkan hulu ledak nuklir, yang mereka klaim punya.
Meski begitu, seorang analis menyebut bahwa potensi perang nuklir--meski realistis-- mungkin sulit untuk dapat benar-benar terjadi.
"Negara pemilik senjata nuklir sangat jarang terlibat dalam konflik militer langsung, mengesampingkan banyak pertempuran kebijakan AS-Uni Soviet selama Perang Dingin. Hanya ada beberapa negara pemilik senjata nuklir yang sempat terlibat dalam bentrokan singkat. Namun bentrokan itu tak begitu serius dan bersifat nonnuklir, seperti China dengan Rusia pada 1969 serta India dengan Pakistan pada 1999," kata Peter Beinart, seorang kolumnis dan pemerhati politik.
"Dan sejarah membantu kita memahami kondisi pada masa kini, khususnya dalam konflik antara AS dengan Korea Utara. Tetap saja, pertukaran retorika agresif yang dilakukan oleh Presiden Trump dan Kim Jong-un membuat orang bingung," tambahnya.
Advertisement