Liputan6.com, Manila - Selalu ada hikmah di balik sebuah bencana. Mungkin istilah inilah yang patut digambarkan untuk penduduk yang tinggal di kaki Gunung Mayon, Provinsi Albay, Filipina.
Sekitar 90.000 orang diungsikan dari zona bahaya, lantaran gunung berapi tersebut berkali-kali erupsi dan memuntahkan lava panas selama dua minggu terakhir.
Abu vulkanik pun mulai menyebar dan menutupi sejumlah daerah di sekitar gunung.
Advertisement
Di balik nestapa tersebut, warga Filipina boleh sedikit tersenyum bahagia karena dapat menyaksikan gerhana Bulan "Super Blue Blood Moon" yang langka, 31 Januari 2018 waktu setempat.
Malam itu, supermoon bersinar benderang di atas kawah Gunung Mayon yang membara. Penduduk di pengungsian mulai berhamburan keluar kamp untuk menyaksikan langsung detik-detik Bulan yang menghilang di langit malam.Â
Semua terhibur, suasana tegang berubah mencair, dan mereka beramai-ramai menatap langit.
Di sekolah-sekolah di kota Ligao dan Guinobatan -- di mana ratusan pengungsi bermukim -- anak-anak dan orang dewasa bersorak sorai saat Bulan berubah warna menjadi merah, memunculkan kesan yang spektakuler antara Bulan dan gunung.
"Saya merasa sangat senang ketika melihat Bulan, tapi juga ngeri saat melihat gunung itu," aku seorang warga, Richel Toledo kepada AFP, dilansir Manila Bulletin, Rabu (31/1/2018).
"Saya tidak mengerti, ini semacam sebuah teka-teki yang sedang terjadi," ungkapnya.
Supermoon terjadi ketika Bulan purnama berada pada titik orbitnya yang terdekat dengan Bumi, sehingga tampak 30 persen lebih terang dan 14 persen lebih besar dibanding ketika Bulan berada pada titik terjauh dalam orbitnya.
Supermoon kali ini merupakan rangkaian dari 'Trilogi Supermoon' yang terjadi sebanyak tiga kali dalam waktu yang berdekatan: 3 Desember 2017, 1 dan 2 Januari 2018, dan 31 Januari 2018. Ilmuwan mengatakan, sangat jarang ada dua Supermoon berturut-turut, apalagi tiga.
Dengan demikian, dua supermoon yang terjadi dalam bulan ini dikenal sebagai fenomena Blue Moon. Sedangkan Blood Moon adalah sebutan untuk gerhana Bulan penuh yang mencapai puncaknya.
Kala itu, sang lunar tampak berwarna kemerahan pekat seperti darah, itulah sebabnya fenomena ini disebut sebagai "Blood Moon".
Kecantikan yang Menakutkan...
Bagi petani kuno yang masih percaya takhayul, fenomena Super Blue Blood Moon diartikan sebagai pertanda buruk. Mereka khawatir dengan tanaman dan ternak yang mereka tinggalkan.
"Ini menakutkan, karena terjadi bersamaan dengan letusan gunung berapi tersebut," ungkap Helen Ocbian yang mengungsi di sebuah sekolah di Ligao.
"Kami telah dievakuasi selama bertahun-tahun dan malam ini adalah pertama kalinya kami melihat Bulan sebesar itu," lanjutnya.
Sedangkan petani lainnya hanya menikmati keindahan Bulan dan memandangnya sebagai sesuatu yang cantik, bahkan cenderung bersyukur.
"Malam ini Bulan terlihat sangat besar dan terang, menarik untuk dilihat. Tuhan menciptakan Bulan yang indah dan gunung berapi ini," kata Jose Almesolano yang mengungsi di sebuah sekolah di Guinobatan.
Bagi mereka yang hidup di bawah bayang-bayang keganansan Gunung Mayon, letusan periodiknya -- sekarang adalah yang ke-52 dalam 400 tahun terakhir -- sudah dianggap biasa, ketimbang Super Blue Blood Moon.
Gunung Mayon adalah gunung berapi paling paling aktif dari 22 gunung berapi di Filipina, sebuah negara yang terletak di lintasan "Cincin Api" atau "Ring of Fire".
Sejumlah negara di dunia dapat menyaksikan Super Blue Blood Moon terakhir kali pada tahun 1982. Ini dikatakan langsung oleh Nico Mendoza, astronom untuk Philippine Atmospheric, Geophysical and Astonomical Services Administration -- organisasi milik pemerintah Filipina.
"Selanjutnya, kita (di Filipina) akan melihat fenomena serupa pada tanggal 31 Januari 2037," tambahnya.
Advertisement