Liputan6.com, Maharashtra - Sekelompok aktivis telah membuat sebuah gerakan untuk menghentikan tes keperawanan bagi pengantin baru yang bertradisi dalam masyarakat adat pengembara di Negara Bagian Maharashtra, India barat.
Pentolan aktivis itu, yang bernama Vivek Tamaichekar (25 tahun), meluncurkan kampanye tersebut di kalangan anak muda di komunitasnya untuk menolak tes keperawanan.
Menurutnya, praktik 'terbelakang' itu harus diakhiri. Demikian seperti dikutip dari BBC (2/2/2018).
Advertisement
Baca Juga
"Praktik itu adalah pelanggaran privasi sepenuhnya dan cara pelaksanaannya sendiri sangat kasar dan menimbulkan trauma. Mereka dipaksa melakukan hubungan intim sementara banyak orang menunggu di luar, dan pengantin laki-laki sering diberi minuman alkohol dan diberi materi pornografi untuk 'mendidiknya'," kata Tamaichekar.
"Pada hari berikutnya, sang mempelai pria dipanggil untuk menghadiri upacara dan ditanya -- dengan kata-kata yang merendahkan -- apakah istrinya suci atau tidak suci," lanjut sang aktivis.
Seperti apa tradisi tes keperawanan untuk pengantin baru di Negara Bagian Maharashtra, India barat?
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Tradisi Tes Keperawanan di India Barat
Seperti dikutip dari BBC, tes keperawanan dianggap sebagai bagian penting dan lazim dari proses pernikahan yang diadakan dalam masyarakat adat dan diawasi oleh panchayat, atau lembaga desa, yang sangat berpengaruh.
Pada malam pertama, pasangan pengantin diberi sprei berwarna putih dan dibawa ke kamar hotel yang disewa oleh lembaga desa atau oleh keluarga pengantin.
Mereka diminta untuk melakukan hubungan badan, sementara keluarga dari kedua mempelai dan anggota dewan desa menunggu di luar. Jika mempelai perempuan mengeluarkan darah ketika melakukan hubungan seksual maka ia adalah perawan, dan jika tidak, maka dampaknya bisa berat.
Pengantin laki-laki diizinkan untuk membatalkan pernikahan jika istrinya tidak berhasil 'membuktikan' bahwa ia perawan, dan perempuan bersangkutan dipermalukan di depan umum dan bahkan dipukuli oleh anggota keluarga karena sudah 'mempermalukan' mereka.
Praktik ini masih berlangsung, meskipun banyak ahli yang sudah membuktikan ketidakbenaran dari teori bahwa perempuan selalu mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual.
"Ada banyak alasan seorang perempuan tidak mengeluarkan darah ketika melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya," jelas dr Sonia Naik, seorang ginekolog yang berkantor di Delhi kepada BBC.
"Jika si perempuan telah banyak melakukan olahraga maka ada kemungkinan ia tidak akan mengeluarkan darah. Juga jika pasangannya berlaku lembut, bisa tidak terjadi pendarahan kendati perempuan itu baru pertama kali melakukan hubungan seks penetrasi," lanjut Naik.
Advertisement
PBB Mengutuk Praktik Tes Keperawanan
Pada 2014, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah memproduksi sebuah rekomendasi yang mengutuk praktik tes keperawanan.
Rekomendasi itu menyebut bahwa tes keperawanan adalah sebuah praktik yang 'merendahkan, diskriminatif, dan tak berbasis sains'.
WHO juga menekankan bahwa hal tersebut adalah sebuah praktik yang invasif tiada guna terhadap kemartabatan diri setiap orang, -- terkhusus perempuan, di mana mereka kerap menjadi sasaran praktik terbelakang tersebut.
Direktur Human Rights Watch pada 2014, Liesl Gernholtz juga mengatakan bahwa, "Rekomendasi yang dirilis oleh WHO semakin menegaskan pandangan berbasis medis bahwa tes keperawanan adalah praktik yang sama sekali tidak berfaedah."