Liputan6.com, Jakarta - Seorang pakar kemaritiman untuk firma konsultan manajemen risiko asal Jerman yang juga mantan kapten kapal tanker selama 14 tahun mengafirmasi mengenai eksistensi segitiga bermuda baru di kawasan Indo Pasifik -- dekat dengan Indonesia, yang beberapa waktu terakhir kerap menjadi buah bibir di dunia pelayaran.
Rahul Khanna yang menjabat sebagai Global Head of Marine Risk Consulting Allianz memaparkan bahwa penyebutan segitiga bermuda baru di wilayah maritim Indo Pasifik itu lazim diasosiasikan sebagai lokasi sejumlah kecelakaan maritim yang terjadi sepanjang 2017 hingga awal 2018 ini.
Advertisement
Baca Juga
Khanna menggambarkan segitiga bermuda baru itu berada pada kawasan maritim yang terhubung pada tiga titik yang dihubungkan dengan garis imajiner. Tiga titik itu terletak di Laut Andaman di Samudera Hindia, Laut Maluku, hingga Laut Jepang Utara.
"Telah banyak yang menyebut bahwa kawasan yang luas itu kerap disebut sebagai segitiga bermuda baru," kata Khanna seperti dikutip dari portal multimedia progresif Amerika Serikat Big Think (6/2/2018).
"Mungkin penyebutan itu terlalu berlebihan, namun jelas kawasan maritim itu merupakan salah satu lokasi di mana insiden perkapalan kerap terjadi. Tak hanya sibuk, kawasan tersebut juga rentan akan cuaca buruk. Dan, menurut pandangan saya, kawasan itu kerap kali tidak menerapkan standar keamanan pelayaran sesuai dengan regulasi internasional," tambahnya.
Kecelakaan yang menimpa banyak kapal di kawasan tersebut, meliputi tabrakan, kebocoran lambung atau isi kargo kapal, kebakaran, ledakan, hingga tenggelam.
Terakhir kali, kapal tanker minyak Sanchi asal Iran yang berbendera Panama mengalami kebakaran, meledak, dan tenggelam di Laut China Selatan setelah menabrak kapal tanker CV Crystal berbendera Hong Kong pada awal Januari 2018.
Insiden itu tak hanya menewaskan seluruh awak kapal Sanchi, tetapi juga mengakibatkan bencana lingkungan, di mana minyak yang dibawa kapal tersebut tumpah ke laut di kawasan segitiga bermuda baru tersebut.
Mencakup 40 Persen dari Total Kerugian Pelayaran Global
Sementara itu, seperti dikutip dari Big Think, kawasan segitiga bermuda baru yang terbentang dari Indo China, Indonesia, Semenanjung Malaya, Semenanjung Korea dan Jepang itu telah menjadi tempat terdepan dalam kecelakaan maritim di dunia.
Pada 2016 saja, 34 kapal mengalami kecelakaan di wilayah tersebut -- membentuk sekitar 40 persen dari total 85 kerugian pelayaran global, menurut perusahaan asuransi kelautan Allianz.
Sementara itu, laporan MarineLink menyebut bahwa kawasan segitiga bermuda baru itu memiliki rata-rata 39 total kerugian kapal per tahun, sekitar sepertiga dari jumlah seluruh dunia.
Bahkan Angkatan Laut Amerika Serikat turut memiliki masalah di wilayah itu, melibatkan USS Lake Champlain, USS Fitzgerald, USS Antietam dan USS John McCain.
Tujuh belas pelaut kehilangan nyawa mereka dalam bencana yang melibatkan kapal perusak Fitzgerald dan John S. McCain, kata Navy Times.
Meskipun tidak ada yang misterius dari kejadian itu jika dipertimbangkan secara kasus-per-kasus, banyaknya kecelakaan yang terjadi memicu banyak orang membandingkan kawasan tersebut dengan Segitiga Bermuda di Amerika Tengah.
Di sisi lain, Volker Dierks, yang mengepalai firma Allianz untuk Eropa Tengah dan Timur, menganggap seluruh insiden tersebut dipicu atas fakta bahwa "kapal semakin besar," yang meningkatkan risiko tabrakan.
Advertisement
Ilmuwan Ini Akhiri Misteri Segitiga Bermuda?
Seorang ilmuwan asal Australia, Karl Kruszelnicki, membantah sejumlah spekulasi yang beredar soal Segitiga Bermuda. Dengan lantang, ia mengatakan bahwa misteri di sana telah terpecahkan.
Karl bersikeras bahwa alasan di balik lenyapnya kapal dan pesawat di Segitiga Bermuda, sama sekali tak terkait dengan alien, kristal api dari Atlantis yang hilang, atau hal-hal supranatural lainnya.
Ia mengatakan, hilangnya pesawat dan kapal di wilayah imajiner yang menghubungkan tiga titik, yakni Florida, Puerto Rico dan Pulau Bermuda itu, sebenarnya disebabkan karena kesalahan manusia dan cuaca buruk.
Menurutnya, wilayah imajiner yang mencakup 700.000 kilometer persegi di Samudra Atlantik itu merupakan daerah dengan lalu lintas tinggi. "Letaknya dekat dengan Ekuator, dekat dengan bagian kaya di Bumi -- Amerika -- tentu saja lalu lintas akan tinggi," ujar Karl.
Dikutip dari Independent pada 27 Juli 2017, ia mengatakan jika jumlah pesawat dan kapal yang hilang dibandingkan dengan yang berhasil 'lolos' setiap harinya, maka angka tersebut tak ada yang aneh.
"Menurut Lloyd's of London dan Coastguard AS, jumlah yang hilang di Segitiga Bermuda sama dengan jumlah di mana pun di dunia secara presentase," ujar Karl.
Ia juga menjelaskan, ada penjelasan sederhana yang memicu awal munculnya spekulasi Segitiga Bermuda, yakni hilangnya 'Flight 19'.
Flight 19 adalah penerbangan 5 pesawat pembom milik militer AS yang berangkat dari Fort Lauderdale, Florida, untuk misi pelatihan dua jam rutin di atas Atlantik pada 5 Desember 1945.
Setelah kehilangan kontak radio dengan basis mereka, kelima pesawat itu lenyap. Tidak ada jejak dari lima pesawat tersebut, pun dengan 14 awak mereka.
Pesawat Angkatan Laut AS lainnya dengan 13 awak yang dimaksudkan untuk mencari Flight 19, juga menghilang.
Spekulasi Segitiga Bermuda semakin mencuat pada 1964 ketika seorang wartawan, Vincent Gaddis, menjuluki laut di sebelah tenggara pantai Atlantik AS dengan nama 'the Bermuda Triangle'. Gaddis memberi judul tersebut untuk sebuah artikel mengenai hilangnya pesawat Angkatan Laut AS, Flight 19.
"Daerah yang relatif terbatas ini adalah tempat lenyapnya pesawat yang jauh melampaui hukum kebetulan. Sejarah misteri itu berasal dari cahaya misterius, yang diamati Colombus saat pertama kali mendekati pendaratannya di Bahama," tulis Gaddis.