Liputan6.com, Tokyo - Putri Mako dari Jepang menunda pernikahan dengan tunangannya hingga 2020. Menurut laporan sejumlah media, hal itu dilakukan karena kurangnya waktu untuk mempersiapkan pernikahan tersebut.
Dikutip dari BBC, Rabu (7/2/2018), cucu Kaisar Akihito yang berusia 26 tahun itu tadinya dijadwalkan akan menikah dengan kekasihnya, pria dari rakyat biasa yang bekerja di sebuah firma hukum, Kei Komuro, pada November tahun ini.
Advertisement
Baca Juga
Keputusan Putri Mako dan tunangannya menambah daftar panjang peristiwa besar yang menyibukkan keluarga kerajaan mulai tahun depan, termasuk upacara turun takhta Kaisar Akihito.
"Saya sangat menyesal telah menyebabkan masalah besar dan beban ekstra bagi mereka yang telah tulus membantu pernikahan kami," demikian pernyataan Putri Mako yang dikutip kantor berita AFP.
Bantahan Rumor soal Penyebab Penundaan
Seorang juru bicara urusan rumah tangga kerajaan mengonfirmasi bahwa pasangan yang bertemu pada 2012 itu berniat untuk menikah setelah upacara turun takhta Kaisar Akihito dan suksesi putra mahkota selesai.
Jubir tersebut juga membantah penundaan pernikahan terkait dengan sebuah artikel majalah baru-baru ini mengenai dugaan masalah keuangan yang melibatkan ibu Komuro.
Pada April 2019, Akihito akan menjadi kaisar Jepang pertama yang turun dari Arsyhemum Throne lebih dari 200 tahun.
Putra sulung sekaligus paman Putri Mako, Putra Mahkota Naruhito yang berusia 57 tahun, akan menggantikannya.
Advertisement
Rela Lepas Gelar Kebangasawanan
Kelak ketika menikah dengan Kei, Putri Mako yang merupakan anak sulung dari Pangeran Akishino diharuskan untuk melepas gelar kebangsawanannya. Tradisi kontroversial tersebut tidak akan berlaku bagi kaum pria anggota keluarga kekaisaran Jepang.
Kaisar Akihito dan dua putranya diketahui menikah dengan perempuan dari kalangan rakyat biasa.
Kabar terkait rencana pernikahan Putri Mako dan Kei memicu kekhawatiran tentang masa depan kekaisaran Jepang mengingat jumlah keluarga salah satu kerajaan tertua di dunia tersebut terus menyusut.
Kondisi tersebut menghangat kembali perdebatan apakah undang-undang terkait pelepasan gelar kebangsawanan harus diubah, sehingga anak perempuan yang terlahir dalam keluarga kekaisaran dapat terus melanjutkan peran mereka kendati menikah dengan orang biasa.
Hal ini dinilai dapat meningkatkan jumlah pewaris takhta bagi sebuah monarki yang tidak mengizinkan perempuan menduduki singgasana.